Bab 6

10.2K 503 15
                                    

Nathan

Terkadang untuk mengejar sebuah passion itu butuh banyak pengorbanan. Apapun itu selagi hal itu membuatmu terus bangkit, fokus dan dapat meraih tujuan tersebut.

Tenaga. Waktu. Pikiran.

Tiga hal itu menguras seluruh energi tubuhku hingga ke dalam dasarku. Rasanya aku ingin berhenti sejenak, tapi tidak bisa. Aku sudah melangkah sejauh ini dan rasanya untuk berhenti sesaat akan mendatangkan penyesalan di akhir. 

Sebelum aku mengenal dunia properti, aku hanya seorang pria lulusan hukum dan mengikuti jejak Ayah. Menaru bibit saham di beberapa perusahaan terbuka berpotensial, setelah itu kegiatanku hanya bertemu dengan beberapa pemegang saham dan komisaris utama, membicarakan seputar dunia ekonomi dan bisnis seluruh dunia serta apa saja yang sedang up to date dan akan menjadi topik hangat oleh kalangan pria berdasi.

Jika aku malas ke perusahaan, aku tinggal berdiam diri dan duduk manis di Rumah sembari memantau pola grafik yang terus berjalan atau hasil laporan laba yang terus berdatangan di layar laptopku. Terkadang aku suka mengecek kurs atau sesekali aku mencari destinasi wisata di beberapa negara yang ingin kukunjungi jika aku bosan. 

Semua hal itu menyenangkan bagiku. Tapi aku merasa hanya berjalan di tempat, seperti berjalan di treadmill.

Hingga aku mulai mengenal dan mencoba untuk terjun ke dunia properti, cukup lama aku menekuni dunia tersebut aku mulai merasakan seperti memiliki hiu kecil di dalam diriku. Ada gejolak ingin menyeruak rasa penasaranku dan keingintahuanku mengenai bidang tersebut.

Semakin lama aku paham akan dunia properti, aku mulai menanamkan niat setelah keinginanku mencuat dan berubah menjadi tujuan besar di dalam hidupku.

Seperti yang kukatakan sebelumnya. Untuk mencapai sebuah keinginan tersebut, aku harus siap mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran. Bahkan bisa lebih dari tiga hal itu. 

Dan beginilah kehidupanku sekarang ini ketika aku menjalani passion-ku, terbangun di meja kerjaku dengan badan membungkuk dan wajahku menempel di meja bersamaan dengan kertas coretan dan laptop masih posisi menyala semalaman. Kebiasaan buruk yang selalu kulakukan. 

Sendi dan ototku langsung nyeri ketika aku menegakkan badanku paksa. Perlahan aku melakukan stretching di tempat, dan aku bangkit untuk melakukan gerakan stretching lainnya.

Sudah pukul sepuluh pagi. Rupanya aku bisa bangun lebih cepat. Biasanya jika aku begadang, aku lebih sering bangun setelah jam makan siang.

Itulah salah satu bentuk pengorbananku yang telah kulakukan. Meski aku tahu dampaknya akan merontokan kesehatanku.

Aku terpaksa begadang karena masih harus merevisi sketsa lampu yang kumau. Sesuai dengan bentuk, kelebihan dan biaya sesuai anggaran, baru aku kirimkan revisi sketsa tersebut ke email designer lalu aku meletakan kepalaku di atas meja. Niatnya aku hanya memejamkan mata sesaat sembari menunggu balasan email. Rupanya aku ketiduran.

Aroma makanan menyapa indera penciumanku dan turun menggelitik perutku. Aku segera beralih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sepertinya Bi Ida datang membuatkan makan siang. Aku buru-buru mengenakan kaos santai berwarna biru gelap dan celana pendek berwarna putih. Kemudian aku turun menuju dapur, dimana aku melihat Bi Ida sedang memapah sebuah mangkuk besar berisi Sop Ayam dan sayuran ke atas meja makan.

Disana juga sudah ada Lyana. Gadis kecil itu tampak manis dengan baju Rumahannya, menatap kehadiranku dengan kedua kaki berayun kencang di bawah meja. Wajahnya berseri dengan seulas senyuman manis seperti biasa.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang