Aku mendudukan diriku di sofa. Sekilas melirik jam tanganku yang sudah menunjukan pukul 8 malam. Tak terasa hari sudah malam.
Perlahan aku memijat kepalaku, nyerinya begitu menghantam, seakan ingin memecahkan kepalaku. Rencana open house minggu depan kemungkinan diundur. Tidak, bukan kemungkinan lagi-- tapimemang harus diundur ke beberapa minggu berikutnya. EO yang kusewa jauh jauh hari melewatkan jadwal reservasiku dan digantikan dengan acara lain.
Adahal undangan sudah disebar dan tamu sudah memberikan konfirmasi keikutsertaan dalam acara. Mau tidak mau timku harus memberikan ucapan permohonan maaf karena batalnya acara.
Aku meregangkan punggungku yang terasa kaku. Lalu aku memejamkan mata. Sepertinya aku butuh sesuatu yang bisa membuatku lebih rileks.
Tempat refleksi sepertinya ide yang bagus. Jadi aku membuka mata dan mengambil ponselku di dalam saku untuk melakukan reservasi.
Namun setelah aku melihat layar ponselku yang dipenuhi notifikasi rasa kaku dan lelah di tubuhku mendadak lenyap.
Puluhan telepon dan pesan masuk dari Lyana memenuhi notifikasi. Sial aku lupa menghubunginya.
Mendadak aku tidak membutuhkan temoat refleksi lagi. Menghubungi Lyana lebih penting saat ini.
Jantungku berdetak cepat ketika nada sambung terdengar. Hingga dering kelima suara Lyana belum terdengar olehku. Sampai pada akhirnya sambungan terputus dengan sendirinya.
Gawat, Lyana tidak mau mengangkat teleponku. Lyana marah padaku.
Tapi aku kembali mencoba meneleponnya. Sampai didering ketiga akhirnya Lyana mengangkat teleponku.
"Halo.."
"Halo, Lyana.." balasku setelah mendengar suaranya yang terdengar lembut. Agak tenang, tapi aku merasa terusik sebelum aku memohon maaf padanya.
"Sayang, maafkan aku. Meeting tadi cukup lama sampai aku belum bisa mengangkat dan membalas semua pesanmu. Maafkan aku sayang."
Ucapku begitu tulus. Lalu aku mendengar Lyana tertawa dan mengatakan jika seharusnya Lyana lah yang meminta maaf karena telah menggangguku.
"Lyana yang seharusnya minta maaf karena ganggu Om kerja. Maaf. Lyana cuma kangen sama Om Nathan."
Sekarang aku lega. "Aku juga kangen sama kamu sayang."
"Kalau gitu Lyana boleh ke Bandung nggak Om? Lyana mau ketemu Om Nathan."
"Lho?!" Aku kaget mendengar Lyana ingin ke Bandung. "Untuk apa kamu ke Bandung?"
"Ya Lyana mau ketemu Om Nathan. Tadi kan Lyana bilang Lyana kangen sama Om. Kalau boleh, Lyana pesan tiket ke Bandung sekarang juga."
Aku menggeleng, walau percuma karena Lyana tidak dapat melihatnya.
"Sekarang? Untuk apa? Kita baru ketemu kemarin Lyana. Ini pun sudah malam. Kamu jangan aneh-aneh ya sayang. Aku kan juga sudah janji sama kamu kalau aku akan ke sana saat menjelang weekend."
"Tapi Lyana mau ketemu Om sekarang." Lyana mulai merengek. Aku mulai bingung.
"Sayang, kita akan ketemu saat weekend. Okay. Aku akan mengusahakan supaya aku akan lebih sering meneleponmu. Hari ini aku memang telat mengabarimu karena ada pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan sementara. Kali ini aku tidak akan membuatmu khawatir sampai seperti ini." Ucapku panjang lebar dengan suara cukup pelan. Aku harap ucapanku membuat Lyana merasa tenang.
Tapi sepertinya aku salah karena Lyana langsung mematikan teleponku. Aku panik. Saat aku ingin meneleponnya lagi, Lyana memberikan pesan padaku.
From : Lyana-ku
Maaf Om teleponnya aku matiin, soalnya tadi ada Papah. Takut kedengeran. Iya Om, kita akan ketemu pas weekend. Maafin Lyana ya Om, pasti Om tidak nyaman karena Lyana mendadak ingin ke Bandung. Lyana cuma kangen sama Om Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, OM NATHAN!
RomanceNathaniel Salim (Nathan) tidak mengerti dengan dirinya sendiri sejak Lyana Bramawan (Lyana) menginap di Rumahnya karena sang kakak meminta Nathan untuk menjaga Lyana selama ia pergi. Selama Lyana disana, Nathan fokus menjaga Lyana. Pikirannya hanya...