Ternyata aku salah.
Aku pikir aku bisa menggapai keinginanku sesuai rencanaku.
Aku pikir aku dapat berlari untuk mengejar apa yang aku inginkan saat itu juga.
Dua hari, tiga hari, seminggu, lalu berlalu melewati dua minggu.
Tak sekalipun aku bisa bertemu Lyana.
Wajahnya. Rambut panjangnya. Senyumnya. Tawanya. Juga suaranya yang merdu ketika namaku terlantun indah melalui bibirnya.
Aku tidak dapat menemukan hal itu lagi.
Lyana bagaikan tertelan bumi, menghilang dari pandanganku.
Ancaman El tidak main-main. Aku salah meremehkannya.
Sudah berbagai cara telah aku lakukan agar aku bisa bertemu Lyana. Tapi lagi dan lagi aku harus terhalang oleh sikap keras El yang juga berusaha menggagalkan niatku.
Aku seperti hama yang harus disingkirkan.
Aku seakan sesuatu yang tak kasat mata. Kehadiranku saat bertandang ke rumahnya sama sekali tidak dihiraukan El.
Putus asa kian menumpuk diriku.
Rasanya aku mulai enggan menghadapi kehidupanku lagi.
Anggap aku lemah. Aku sudah tidak peduli dengan penilaian seperti itu.
Seandainya El tahu kalau Lyana adalah sumber energiku, jika aku tidak bertemu Lyana, energiku seakan terkuras habis.
Tapi aku masih belum mau menyerah untuk berusaha. Dengan sisa keinginan yang kupunya aku masih terus mencari jalan lain.
Lalu aku mencoba lagi dengan datang ke sekolah Lyana. Berdiam diri di dalam mobil tanpa mengalihkan pandanganku selain menatap gerbang sekolah Lyana.
Aku mengamati murid-murid berlalu lalang memasuki sekolah. Hingga tatapanku berakhir di sebuah mobil sedan hitam yang sangat kukenali berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. Itu mobil El. Tak lama Lyana keluar dari mobil.
Aku tak kuasa untuk tersenyum ketika aku menemukan gadis kecilku yang tampak menggemaskan mengenakan seragam sekolah dengan tas di punggungnya. Rambut yang sudah memanjang dikepang dua dengan lilitan kunciran terang.
Sungguh, hanya melihat Lyana dari mobil saja aku senang bukan main. Rasanya aku ingin segera keluar dan berlari menghampiri Lyana dan memeluk gadis kecilku ke dalam dekapanku.
Kalau tidak ada El di sana, mungkin aku benar akan berlari dan keinginanku untuk memeluk Lyana akan terwujud.
Setidaknya, aku merasa bersyukur. Melihat Lyana dari jauh saja, aku cukup merasa lega. Walau benakku masih terasa sesak karena aku harus menahan diri lagi.
Iya, menurutku begini sudah cukup.
Karena yang kulakukan berhasil, aku terus melakukannya lagi. Setiap pagi dari senin sampai jumat disaat Lyana ada jadwal pergi ke sekolah. Lalu aku akan menunggunya sampai Lyana pulang sekolah.
Namun semakin lama aku terus melakukan ini, aku mulai merasa tidak sanggup.
Aku tidak bisa melihat Lyana dari jauh seperti ini terus menerus.
Kewarasanku kembali menuntutku untuk mendekati gadis kecilku.
Keinginanku semakin tak bisa kubendung lagi; aku benar-benar ingin memeluknya, mendekapnya dengan kuat, meluapkan kerinduanku yang sudah menumpuk setelah sekian lama.
Aku sudah tidak tahu lagi apa aku masih bisa menahan perasaan ini terus.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk nekat mengikuti Lyana dari jarak jauh. Dengan berpakian serba hitam, masker, topi baseball dan sarung tangan. Penampilanku seperti penguntit. Sudahlah, aku sudah tidak peduli lagi dengan label baruku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, OM NATHAN!
RomanceNathaniel Salim (Nathan) tidak mengerti dengan dirinya sendiri sejak Lyana Bramawan (Lyana) menginap di Rumahnya karena sang kakak meminta Nathan untuk menjaga Lyana selama ia pergi. Selama Lyana disana, Nathan fokus menjaga Lyana. Pikirannya hanya...