Bab 2

14K 704 9
                                    

Nathan

Bibirku tak berhenti bergumam kesal menatap jalan raya Ibukota Jakarta yang semakin lama semakin padat bagiku. 

Itulah alasan kenapa aku memilih menetap di Bandung ketimbang di Jakarta dan sekitarnya. Aku nggak suka macet dan hawa panas Jakarta lebih menyengat ketimbang Bandung bagiku.

Tapi sebenarnya Bandung sama saja. Sama-sama macet dan sama-sama panas. Setidaknya panas Bandung tidak membuat kulitku memerah saat terpapar sinar matahari langsung.

Setelah aku menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya ruas jalan mulai longgar saat aku sudah memasuki ruas jalan menuju Bandara Soekarno Hatta. Aku memutar kemudi menuju Terminal 3 khusus Bandara Internasional.

Sebelum aku berangkat aku menyelesaikan pertemuanku dengan rekan Kontraktorku terlebih dahulu baru aku langsung melesat. Sambil mengemudi aku kembali membaca isi pesan El yang memberitahuku jika ia sudah tiba di Bandara bersama keluarganya. Hari ini adalah keberangkatan El sekeluarga menuju Inggris, kecuali Lyana. Rencananya aku akan ke Bandara menemui El sekaligus menjemput Lyana disana.

Awalnya El ingin mengantar Lyana ke Rumahku tapi nggak aku ijinkan karena Rumah lagi dalam tahap pengecatan ulang, jadi Rumahku berantakan dan aku nggak mau El sekeluarga melihat Rumahku sebelum beres. 

El akan take-off sekitar jam 15.45 WIB. Aku menerima pesan baru yang ternyata itu dari El dan pesan itu masuk ke ponselku pukul 15.30 WIB, sebentar lagi El akan berangkat dan aku masih harus berputar-putar di area parkir karena area sudah penuh. Sekarang aku gelisah, dengan terpaksa aku harus menunggu salah satu mobil ada yang ingin keluar dari jejeran parkiran disana.

Akhirnya aku berhasil memarkirkan mobilku dan buru-buru aku langsung mencari pintu masuk keberangkatan. Sudah tidak ada harapan lagi untuk bertemu dengan El, jadi pandanganku sibuk mencari sosok gadis kecil yang seharusnya sedang menungguku.

Tiba di pintu masuk aku tidak menemukan Lyana. Bahkan kedua mataku bekerja sempurna untuk mencari gadis kecil itu tapi tidak ketemu.

Kini aku sangat amat menyesal kenapa aku bisa lupa meminta El untuk mengirimkan nomor ponsel Lyana padaku. Kalau aku mengirimkan pesan sekarang, El tidak akan membalasnya. Pasti El sudah di dalam perjalanan dan ponsel El sudah dinonaktifkan.

Kalau aku nggak lupa dan El langsung kirim nomor ponsel Lyana sebelum ia berangkat, aku akan tinggal menelepon Lyana dan nggak perlu berlari menyusuri lorong Terminal Bandara seperti yang aku lakukan saat ini. 

Aku sudah mencarinya kesana kemari, bahkan aku cari di dekat toilet tapi aku tidak menemukan sosok gadis yang sedang kucari.

Aku mencari Lyana berdasarkan daya ingatanku. Dengan keyakinan penuh aku mengingat Lyana yang memiliki tubuh kecil, pipi gembul dan berambut panjang sampai punggung. Aku mengingatnya ketika aku melakukan video call dengan El, kebetulan El sedang bersama Lyana dan kami say Hi saat itu.

Itupun sudah dua tahun yang lalu. 

Tapi sosok itu tidak tertangkap olehku selama setengah jam aku berlari mencarinya. Aku mulai lelah sehingga aku memutuskan untuk duduk membungkuk di depan salah satu Restoran disana. Satu tanganku membuka ponsel tanpa tujuan. Aku bingung kemana lagi aku harus mencari Lyana disini. Nggak mungkin gadis itu pergi begitu saja.

Dan nggak mungkin juga Lyana langsung ke Rumahku. Ia belum tahu alamat Rumahku. 

Kepalaku tertunduk lesu sambil menggaruk rambut belakangku secara kasar. Bertanya-tanya di dalam hati kemana gadis kecil itu pergi.

Habis aku sama El kalau tahu Lyana hilang.

Mataku terpejam sesaat, lalu terbuka lagi ketika aku merasakan kehadiran seseorang di hadapanku. Aku menatap sepasang kaki mengenakan sneakers berwarna merah maroon dan sontak aku menaikan pandanganku.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang