49. Cara Avril

91.6K 6.7K 3.2K
                                    

Nih ya, aku rangkum dari komen kemarin, rata-rata pada suruh Avril pergi jauh-jauh, ada juga yang minta penyakit Avril dibuat tambah parah. Kalian ini kenapasiii 😭😭👊👊

Btw komen kemarin rame bgtt, kaget apalagi kalian pada nulis pendapat ttg situasi Avril panjang" bgt 🥺🥺 Mercii 🤗🥰💗

Siap ramein chapter kali ini yaaa 💪🏻💪🏻

SELAMAT MEMBACA ❤️❤️

⚪ ⚪ ⚪

"Waktu pulang dari rumah kamu, Gizel call aku. Dia nangis, ada masalah, dan minta tolong jemput. Bajunya basah, terlalu terbuka juga. Gak mungkin aku lepas tangan suruh dia pulang sendiri. Akhirnya aku pinjamin jaket dari kamu. Aku antar dia pulang," Di sini Xavior menceritakan garis besar apa yang menimpa Gizel.

"Quinzel, kalo sikonnya beda, gak akan aku asal kasih pinjam barang dari kamu ke orang lain."

"Masalah sama Baduga, iya itu Gizel. Urusan kemarin, iya aku ketemuan sama Gizel," Terdengar hembusan berat dan umpatan kecil Xavior, "I screwed up, didn't I?"

"Quinzel, maaf. Aku salah." Suara Xavior serak, tidak stabil.

"Gak gini. Harusnya aku jujur. Aku pikir lebih baik kamu gak tau. Ternyata salah. I hurt you. I'm sorry. Aku sayang kamu, Quinzel. Cuman kamu."

"Tolong—"

Ketukan pada pintu kamarnya terdengar. Avril menjeda voice note dari Xavior yang sudah diulangnya kesekian kali dari detik awal cowok itu mengirim.

"Quinzel?"

Avril buru-buru menyeka air matanya. Mengibas tangannya berkali-kali. Meredam balik perasaannya yang bergejolak.

"Come in," suruh Avril, gadis itu mengutuk dalam hati menyadari suaranya yang sumbang.

Memasuki kamar putrinya, Justin masih dengan kemeja kerja menatap kondisi Avril yang jauh dari kata baik. Gadis itu diam saja, menyerupai melamun, nyatanya Avril susah payah meredam sesak yang kembali menghimpit dadanya.

Hening. Wajah Justin kaku seperti biasa sementara manik Avril bergerak mengintai tiap pergerakan ayahnya itu.

"Rapor kamu," Justin mengangkat sebelah tangannya yang memegang buku rapor yang senada dengan kemeja pria itu.

Avril menerimanya. Meletakkan buku super berat sebesar map file itu di sisi kanan kasur lalu kembali menatap Justin.

Justin mengernyit. "Gak mau dilihat?"

"Cuman kumpulan nilai kepala 9 dan 10. Bukan hal baru," balas Avril seraya menghela diakhiri senyum kecil, "Gimana rapor si Pus?"

"Pus?"

"Putri. Anaknya Risa, Dad. Singkatan. Biar lebih mudah," Justin berkacak pinggang mendengarnya.

"Tante. Dia lebih tua dari kamu," tegur Justin tidak bosan-bosannya.

"Gak ada yang bisa dibanggain dari kata tua. Cuman menang adu nasib," balas Avril acuh tanpa menatap Justin. Pura-pura sibuk dengan buku rapornya.

"You know, satu hari nanti kamu juga bakal tua, Quinzel," beritahu Justin mengingat putrinya.

"Welps untungnya Avril berencana mati muda, Dad," lempar Avril balik tidak mau kalah.

Pupil Justin melebar seketika. Dari raut Avril, Justin tau gadis itu hanya bicara semata, namun tetap saja, "Jangan kelewatan, Quinzel," tegur Justin serius.

XaviorAvrilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang