Disappointment

100 41 71
                                    

~•°Marun°•~

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman gedung, tanpa sadar menggigiti kukuku sendiri karena cemas. Aku harus mencari Fajar tapi tidak tau harus kemana. Mataku menangkap sesosok gadis berambut panjang yang sedang menelepon. Itu Stella. Aku menghampirinya dengan setengah berlari dan menepuk bahunya.

"Stella!"

Ia menoleh dan menurunkan ponselnya dari telinga. "Marun?"

"Lo tau gak Fajar di mana?" tanyaku langsung.

Ia menggeleng keras. "Gue juga gak tau, dari tadi gue nelpon Azka gak diangkat-angkat," ujarnya cemas.

"Tadi Azka nemuin gue nanyain Fajar. Mungkin dia lagi ngejar Fajar sekarang," balasku.

"Duh, gimana ya..." gumamnya cemas. Stella tetap berusaha mendial nomor Azka di ponselnya berkali-kali.

"Lo tau gak rumahnya Fajar di mana?" tanyaku lagi.

"Gue gak tau, Fajar gak pernah ngizinin gue main ke rumahnya," ujarnya hampir menangis.

Melihatnya yang begitu khawatir menambah rasa bersalahku menjadi tiga kali lipat. Aku mengigit bibir menahan rasa tidak enak di hatiku. Fajar, Azka dan Stella, ketiganya jadi begini gara-gara aku.

Mencoba untuk tetap berpikir jernih, aku kembali bertanya. "Kira-kira Azka tau gak rumahnya Fajar di mana?"

Stella kembali menggeleng. "Kayaknya Azka juga gak tau,"

•••


~•°Fajar°•~

"Fajar!"

Samar-samar kudengar suara Azka menggedor pintu rumahku. Astaga, kenapa dia harus repot-repot kesini mencariku. Aku benar-benar sangat ingin sendirian sekarang. Aku sedang tidak ingin berdebat atau semacamnya.

Kuraih kotak tisu di atas meja, mengambil selembar dan menahannya di bawah hidung. Aku mimisan lagi.

"Jar, gue tau lo di dalam, buka pintunya!" suaranya terdengar gusar dan itu benar-benar menggangguku. "Jar, buka atau gue dobrak pintu lo?!"

Astaga anak ini, pikirku, benar-benar tidak mau memberiku ruang untuk sendiri rupanya. Sesuatu yang keras tiba-tiba membentur pintu. Sial, barang-barangku masih berserakan di atas meja dan ada banyak sisa-sisa sampah dan abu rokok di lantai. Aku tidak mau Azka menemukanku dalam keadaan seperti ini.

Aku bangkit dari dudukku berencana untuk membereskan sedikit sebelum Azka masuk. Tidak semuanya, hanya hal-hal yang tidak perlu dan tidak boleh sampai dilihat Azka. Baru beberapa sampah plastik bening yang berhasil kukutip, tiba-tiba kepalaku terasa pening dan dunia terasa berputar. Aku kembali terduduk sedangkan Azka di luar sana tidak mau berhenti berusaha mendobrak pintuku.

"Jar!" bersamaan dengan suaranya yang menyerukan namaku, pintu rumahku jebollah sudah.

Krekk

Pintu kayu tua itu berdecit saat engselnya terlepas dan berhamburan ke lantai. Sedangkan aku, aku melihat Azka ada dua.

"Bener kan gue, lo di dalem!" ujarnya sambil menumpukan kedua tangan pada lututnya, napasnya terengah-engah. "Lo kenapa sih? Pake kabur segala, semua orang nyari--"

Azka tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Matanya terpaku pada sesuatu di atas mejaku dan di saat yang bersamaan raut wajahnya berubah drastis. Aku mengikuti arah pandangnya dan merutuki diriku sendiri begitu tahu Azka sedang melihat apa.

Aku buru-buru meraihnya tetapi kalah cepat oleh Azka. Diperhatikannya sisa-sisa bubuk putih dalam plastik bening yang sudah terbuka ditangannya.

"Jar, ini apaan?"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang