Holding Hands

80 19 33
                                    

Fajar POV

Hembusan angin menerpa wajahku yang kubalas dengan tarikan nafas dalam sambil memejam. Membiarkan oksigen baru memenuhi rongga dadaku dan mengalir dalam darah, kemudian menciptakan rasa tenang pada otak.

Aku membuka mata dan memandang sekeliling. Cuaca siang hari yang tadinya terik kini mulai mereda, digantikan dengan langit biru yang membentang luas, disertai gedung-gedung tinggi dan juga beberapa pepohonan.

Aku menoleh pada Marun di sebelahku yang kini juga sedang melakulan hal yang sama, menarik napas dan mengagumi pemandangan di depannya. Kami sedang berada di rooftop sekolah sekarang, setelah ajakannya di UKS beberapa saat yang lalu.

"Jadi, apa tahap misi membuat Fajar merasa hidup kembali yang selanjutnya?" aku memulai percakapan.

Marun menoleh padaku dan tersenyum simpul. "Gue pengen nanya beberapa hal, tapi kalo terlalu berat buat di jawab, lo bisa jawab sambil liatin pemandangan di depan supaya lebih rileks, atau lo boleh nolak untuk ngejawab kok."

Mendengarnya berkata ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebenarnya sudah cukup mentrigger rasa cemas dalam diriku, tapi kalimat penutup yang terdengar begitu pengertian itu akhirnya membuatku menyetujuinya. "Oke."

"Apa sih arti hidup buat lo?"

Aku memandangnya yang kini juga sedang memandangku. "Wow, gini banget pertanyaannya?"

Senyum Marun kembali merekah. "Jawab aja,"

Aku berpikir sejenak. Memikirkan pertanyaannya membuatku menyadari bahwa aku tidak pernah benar-benar berpikir tentang hidup. Mengapa aku hidup, alasan aku hidup dan tujuanku hidup. "Hidup itu, seonggok daging dikasih nyawa, terus bisa jalan, bisa ngomong, aw!"

Aku memegangi lenganku yang baru saja terkena pukulan sadis oleh Marun. "Jawab yang bener," desaknya.

Aku berdehem sejenak sebelum menjawab. "Gue gak tau arti hidup gue apa."

"Makanya sekarang gue ngajak lo berpikir arti hidup itu apa," ujarnya tenang.

Aku berpikir lagi. Kali ini cukup lama aku memikirkan jawaban atas pertanyaan Marun sebelum akhirnya kembali menoleh padanya. "Sebagai figuran yang memenuhi populasi manusia?"

Mata Marun menyipit, aku mengambil jarak darinya kalau-kalau dia akan memukulku lagi. "Oke, gue bikin perumpamaan yang lebih mudah. Seandainya lo tokoh utama dalam sebuah cerita, kira-kira cerita itu bakal tentang apa?"

Aku kembali diam dan berpikir. "Yang pastinya cerita itu bakal berakhir sad ending."

"Kenapa gitu?"

"Karena pemeran utamanya memutuskan untuk mati?"

Tatapan Marun berubah. "Jadi lo udah memutuskan bakal mati?"

Aku mengedikkan bahu. "Belum tau mau pake cara apa."

"Kenapa buru-buru banget?"

Aku tersenyum kecil. Sejujurnya aku menyukai usahanya untuk tetap tenang menanggapi celotehan gelapku meski aku tau dia sangat ingin meledak sedari tadi. Tatapan berapi-api itu tidak bisa membohongiku. Tatapan seseorang yang ingin hidup. Pasti sangat berbeda jauh dengan tatapan mataku yang sekarang.

"Karna semua orang pada akhirnya bakal mati 'kan? Apa bedanya mati nanti dan mati sekarang. Masa depan adalah kematian." itu adalah jawaban paling jujur yang bisa kusampaikan padanya.

"Apa gak ada lagi hal yang pengen lo lakuin, setidaknya sebelum mati?"

"Gak ada."

Marun berdecak. "Pikirin dulu yang bener, jangan langsung dijawab gak ada."

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang