"Woy, ngelamun aja sih. Gurunya udah keluar tuh."
Suara Azka mengagetkanku dari lamunanku. Saat aku mengedarkan pandangan, teman-teman sekelasku sudah bersiap untuk pulang rupanya.
Menghela napas untuk yang kesekian kalinya siang ini, aku juga ikut membereskan barang-barangku yang tidak banyak di meja dan memasukkannya ke dalam tas. Kata lelah dan tidak bersemangat masih belum cukup untuk menggambarkan apa yang aku rasakan saat ini. Bangkit berdiri, aku menyusul Azka dan Stella yang sudah berjalan lebih dulu di depanku.
"Lesu banget sih mentang-mentang hari Senin," celetuk Stella.
Aku meliriknya dan hanya melemparkan senyum dengan ogah-ogahan.
Gemas dengan reaksiku yang seadanya, Stella lantas mengguncang-guncang tubuhku yang sudah tidak bertenaga seperti jeli. "Semangat dong, ini kan hari Senin, ada kelas musik Pak Malik,"
Ucapannya barusan seketika mampu membuatku berdiri dengan tegak. "Oh iya,"
Azka menoleh padaku. "Lah, lo lupa?" sahut Azka yang kubalas dengan anggukan.
Stella menggeleng-gelengkan kepala. "Gak fokus nih Fajar,"
Aku meringis kecil. "Kalo gitu gue balik lagi ya, hari ini belajarnya di kelas IPA," ujarku sambil menunjuk koridor yang berlawanan arah.
Stella mengacungkan jempolnya padaku. "Sip, semangat!" Sedangkan Azka hanya mengangguk.
Aku memutar langkah setelah berpamitan dan kembali hanyut dalam pikiranku sendiri. Pikiran yang terlalu semrawut dan abu-abu hingga tidak bisa dijelaskan warna mana yang sebenarnya sedang dibahas.
Aku mengedarkan pandangan mencari kelas XI IPA 3 yang akan digunakan hari ini, kelas terakhir tempat Pak Malik mengajar. Saat sampai disana ternyata belum ada siapapun kecuali sebuah tas kerja yang tergeletak di meja guru yang sepertinya milik Pak Malik.
Beberapa siswa penghuni asli kelas tersebut keluar begitu melihatku memasuki kelas mereka. Ah, lagi-lagi tatapan dingin yang tidak bisa kuabaikan. Mencoba menepis pikiran tentang mereka, aku menuju meja nomor dua dari belakang di barisan paling kanan dan mendudukkan diriku disana. Menunggu siapapun datang dan masuk kemudian memberikan tatapan dingin lagi.
Aku menyandarkan dahiku pada meja di depanku kemudian mengeluarkan ponsel dari saku dan memainkannya di laci meja. Tidak ada pesan masuk selain notifikasi tidak penting saat aku menghidupkan data ponsel. Ah, tidak ada yang menarik dari benda persegi panjang di tanganku ini.
Suara tawa beberapa anak perempuan terdengar mendekat dan menjadi jelas di telingaku disusul dengan derap langkah kaki. Tanpa mengangkat pandangan, aku yakin sekali mereka juga mengambil kelas ini. Aku menutup mata mencoba merasakan segala sesuatu disekitarku berdasarkan pendengaranku saja.
Suara sepatu yang berdecit dengan lantai, obrolan samar-samar dari suara anak perempuan tadi, tawa beberapa anak laki-laki dan juga derap langkah suara sepatu pantofel yang cukup nyaring.
"Selamat siang,"
Sapaan ramah yang langsung disambut dengan baik oleh seisi kelas itu membuatku tersenyum kecil masih sambil memejamkan mata.
Beberapa orang menyahuti salam Pak Malik dengan sopan termasuk aku meskipun hanya dalam hati. Bersamaan dengan itu aku bisa mencium aroma storiberi yang menguar dari sebelah kiriku.
Begitu aku mengangkat kepala dan menoleh pada sumber aroma stroberi tadi, sebuah senyum kelewat manis lengkap dengan lesung di pipi sebelah kiri menyambutku dengan hangatnya.
Untuk sejenak aku merasa tersihir dengan apa yang kulihat. Gadis di depanku ini masih memandangku dengan senyum lebar serta permen karet di mulutnya. Tangannya menunjuk sebuah permen karet rasa stroberi di sebelah tanganku, mengisyaratkan bahwa dia memberikannya untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Fiksi RemajaKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...