Suffocate

91 23 12
                                    

Fajar POV

Ada hal-hal yang masih belum bisa kita maafkan dalam hidup. Dan karena luka itu masih ada disana, rasa sakit itu mengubah kita menjadi seseorang yang sepenuhnya berbeda. Ketakutan yang menghantui menghalangi kita melakukan hal-hal yang seharusnya biasa dilakukan oleh manusia normal, menggerogoti fungsi kita sebagai manusia.

Di umurku yang menginjak tujuh belas tahun, jantungku masih berdebar dengan tidak normal tiap kali menginjakkan kaki di rumah sakit. Namun ketakutan yang kali ini kualami seakan menyerang berpuluh-puluh kali lipat dari biasanya. Aku tak siap.

Begitu membuka mata di ruangan serba putih yang dipenuhi bau obat-obatan, pandanganku lantas memburam. Entah karena nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, entah karena genangan kristal yang tanpa kusadari telah melapisi manik mataku sendiri.

Shock yang baru saja kurasakan membuatku bergerak panik kesana kemari. Reaksi tubuh yang berlebihan itu kembali membuatku sadar akan rasa sakit yang sedang mendera sendi-sendiku. Tulang-tulangku rasanya seperti meleleh dan otot tubuhku seakan dicabik-cabik.

Seseorang memelukku. Begitu aku melihatnya dari jarak yang terlampau dekat, aku kembali histeris. Lebih dari apapun yang ada di dunia ini, aku paling tak siap bertemu dengannya. Aku sangat tak siap.

Ada beberapa orang lagi di ruangan ini tapi aku menolak untuk melihat mereka semua. Wajah seseorang yang baru saja kulihat membuatku memejamkan mata erat-erat. Semua ingatan tentangnya terasa samar di benakku. Semua, kecuali perasaan yang tak kunjung pudar.

"Fajar, ini Mama. Mama disini,"

Dan aku hanya mampu menjawabnya dengan isakan. Aku menangis tanpa berniat membalas pelukannya sama sekali. Semuanya terasa menyakitkan, tubuhku juga hatiku. Aku hanya bisa terbujur kaku di atas ranjang sambil memejamkan mata erat-erat. Dihadapkan dengan seseorang yang selama ini kuanggap sebagai mimpi buruk membuatku kehilangan kontrol atas diri sendiri.

"Fajar, ini Mama. Lihat kesini," pelukan itu terlepas bersamaan dengan kedua tangan yang menangkup pipiku.

Aku tak berani, aku sungguh tak berani. Tapi entah kenapa mataku tetap terbuka untuk melihatnya sekali lagi. Sesuatu di bawah alam sadarku ingin memastikan apakah itu benar dirinya. Suaraku tak bisa keluar ketika aku mencoba berbicara. Tenggorokanku terhalang udara yang keluar masuk tak beraturan.

"Kenapa nangis nak? Mana yang sakit? Apa yang sakit?"

Pertanyaannya semakin membuat perasaanku tumpah ruah. Ada lega yang begitu luar biasa saat melihatnya disini. Namun juga ada benci yang sama besarnya dengan rasa cintaku padanya. Mama adalah sosok yang paling menyakitiku di dunia ini. Mungkin alasannya sederhana, karena dia adalah satu-satunya yang tersisa sebagai orang yang paling kucintai di dunia ini.

Yang paling kau cintai adalah yang mampu menyakitimu paling dalam. Aku menjauhkan diri darinya tapi aku juga mengharapkannya datang. Namun ia tak pernah datang. Kerinduan itu kemudian berubah menjadi kebencian. Kusimpulkan sendiri ia sudah tak peduli lagi padaku. Kuputuskan akan membangun tembok yang paling tinggi terhadapnya meski mungkin sebenarnya Mama adalah sosok yang paling aku butuhkan disaat-saat rapuhku.

Namun kami tak pernah dekat sejak aku kecil. Selalu ada jarak diantara kami yang membuatku merasa tak terikat dengannya secara emosional. Intimasi itu mendingin, membuatku merasa dibenci dan dijauhi walaupun mungkin Mama tak pernah bermaksud begitu. Ia selalu menolak tiap kuajak bicara soal Papa atau apapun yang menyangkut kehilangan. Dan penolakan yang tak dapat kupahami sebagai seorang anak kecil kala itu membekas sebagai luka. Kini ia menahan tangis di depanku, melihat anak semata wayangnya ditemukan hampir mati karena overdosis narkotika.

Mama ada tapi aku selalu merasa tak punya siapa-siapa.

"Kenapa bisa jadi kayak gini? Sejak kapan kamu begini Jar?" tanyanya menahan pilu.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang