What Are You?

310 73 79
                                    

Aku tidak suka belajar tapi terkadang ada sesuatu yang menarik perhatianku dan membuatku ingin mempelajarinya. Salah satunya pelajaran tambahan tentang musik yang kuambil hari ini. Tidak wajib, bukan kelas akselerasi juga. Hanya sebuah kelas tambahan yang iseng dibuka oleh salah satu Guru Kesenian di sekolahku yang sangat bersemangat saat mengajar tentang musik. Yang ikut juga hanya 5 orang siswa yang ternyata semuanya bisa memainkan alat musik termasuk aku.

Dan benar, aku datang ke sekolah hari ini memang hanya untuk kelas yang satu ini saja. Begitu kelas selesai aku langsung pergi berniat untuk pulang. Langkahku terhenti di depan ruang musik ketika mendapati sesuatu yang menarik di dalamnya.

Piano. Aku suka piano. Dulu, Marun suka mendengarkanku memainkan piano yang ada di gudang dekat rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya piano itu bisa sampai disana, mungkin milik salah satu warga yang tinggal di sekitar situ. Aku dan Marun menemukannya ketika kami tersesat saat bermain-main di sekitaran rumah sakit. Sebuah piano yang sedikit rusak dan berdebu di sebuah gudang yang tidak terkunci.

Apa saat itu aku tidak takut? Tentu saja bagi anak berumur delapan tahun gudang yang gelap itu menakutkan. Tapi Marun kecil yang begitu penasaran di sampingku saat itu membuatku memberanikan diri dan berpura-pura tidak takut. Ingatan masa kecil yang manis itu membuatku tersenyum.

Aku suka main piano sejak kecil. Papa yang mengajarkannya. Dulu di rumahku ada sebuah piano tua. Kadang aku suka memainkannya saat aku sedang merasa kesepian karena tidak punya teman bermain. Dia menjadi temanku satu-satunya saat orang-orang tidak punya waktu untukku.

Aku menelusuri ruang musik lebih dalam dan berhenti di piano cokelat yang kucari. Piano ini mirip dengan piano tuaku dulu meski tidak sama persis.

Aku duduk di depannya dengan senyum yang tanpa sadar mengembang. Kutekan-tekan tuts di depanku mencoba mengenali nadanya. Dan aku tersenyum puas saat ternyata aku masih mengenali piano dengan baik mengingat sudah sangat lama sejak terakhir kali aku bermain piano.

Sebuah suara gitar dari ruangan seberang membuatku menoleh. Aku tidak bisa melihat siapa yang memainkannya karena pandanganku terhalang pada sebuah lemari yang dijadikan tempat menyimpan biola.

Aku mendengarkan nada-nada yang dihasilkan dari petikan gitarnya. Mengalun lembut memenuhi ruangan. Terasa keras tapi juga lembut. Indah tapi menyayat hati. Nadanya terdengar ringan dan manis tapi aku bisa merasakan luka bersembunyi di dalamnya. Aku tidak pernah memdengar alunan lagu ini sebelumnya tetapi aku menyukainya. Sangat menyukainya. Aku tau aku bukan anggota klub musik dan tidak seharusnya aku masuk ke sini. Tapi aku jatuh cinta pada permainan gitar yang kudengar. Jadi aku memutuskan untuk mengintip.

Saat aku melihat dari celah-celah lemari yang tidak terlalu rapat, aku menemukan seorang perempuan yang sedang memainkan gitar. Oh, dia tidak sendiri, dia ditemani oleh seorang pria yang sedang mengamatinya bermain gitar. Setelah kuteliti lagi ternyata itu Daniel. Aku menghela napas, tau ini akan jadi masalah jika aku sampai ketahuan, tetapi alunan menyenangkan yang kudengar membuatku tidak rela untuk beranjak dari sini. Ketika permainan gadis itu selesai, Daniel bertepuk tangan. Aku bertanya-tanya sejak kapan Daniel menjadi anggota klub musik?

"Jadi ini lagu ciptaan lo sendiri?"

"Iya" gadis itu tersenyum. "Seharusnya gak cuma gitar sih, rencananya mau gue tambahin piano dan biola atau mungkin bass juga"

Daniel berdecak kagum. Entah apa yang mereka bicarakan karena setelah itu aku tidak fokus mendengarkan lagi, yang jelas aku terpaku pada sosok yang baru saja membuatku terpukau dengan permainannya. Dia seorang gadis dengan rambut yang dikuncir kuda, berbalut ripped jeans dan juga sweater biru. Dia manis dan kulitnya pucat hampir seperti mayat, tetapi binar di matanya mengatakan kalau dia hidup. Entah hal apa yang mempengaruhiku, tapi saat aku melihatnya aku teringat dengan Marun.

"By the way, gue Daniel" ujar Daniel sambil mengulurkan tangan.

Ia menyambutnya dengan senyuman kecil. "Gue Marun"

Dan detik berikutnya, jantungku rasanya seperti berhenti berdetak.

Marun.

Marun?

Namanya Marun?

Apa aku tidak salah dengar?

Hell, tetapi dia sama sekali tidak mirip dengan Marun. Marun punya dua gingsul di giginya dan matanya akan melengkung seperti bulan sabit saat ia tersenyum. Kulitnya putih kemerahan dan rambutnya hitam panjang dengan poni yang lucu menutupi dahinya. Ia bukan seseorang yang akan menyukai sweater biru polos rajutan dan sneakers. Dia tidak tomboy seperti itu. Dia menyukai warna merah dan sesuatu yang lembut. Dia menyukai ice cream, kue dan juga Fajar...

Aku tidak tau apa yang merasukiku. Tapi saat aku menoleh kembali, Daniel sudah pergi dan hanya menyisakan Marun yang sedang membereskan barangnya dan membawa gitar yang tadi dimainkannya.

Tidak mungkin, rasanya hal ini sangat mustahil.

Dia tidak mungkin Marunku...


•••


Where are you now? Was it all is my fantasy?

.
.
.

TBC

Note: Marun yang tulisannya dimiringin/diitalic itu yang dari masa lalu. Sedangkan Marun yang tulisannya biasa aja itu dari masa sekarang.

See you :*

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang