Epilogue

126 15 27
                                    

ALIVE
2016 - 2022

Proudly Present by
WidyaSyala

.

.

.


Fajar POV

Tahu tidak apa yang paling menyakitkan dari kematian?

Ketika ia datang tiba-tiba, tanpa peringatan. Prosesnya terjadi begitu cepat. Ketika bahkan kita sendiri belum bisa menerima kenyataan dan memproses apa yang terjadi, jasad itu sudah terkubur di liang lahat. Terbaring kaku berselimutkan tanah.

Dan ketika kita pulang, disaat rumah yang tadinya begitu ramai dengan pakaian hitam serta panjatan doa, kini sepi, hening sampai menyesakkan. Dan disaat-saat paling sendirian yang masih terasa seperti mimpi, disaat itulah kita sadar...

Dan dunia seakan tak punya tempat untuk kesedihan. Waktu tetap berputar, dentingan jam terus berjalan. Semua mulut menuntut agar tak bersedih, semua tangan mengusap dengan paksaan. Kita dipaksa mengerti disaat sebenarnya tidak.

Pada hari-hari berikutnya, kesepian-kesepian itu makin sibuk memeluk, merayapi kaki di tiap malam. Jejak air mata yang mengering mulai membuat tubuh menggigil. Tangan-tangan yang tadinya setia mengusap kini mulai mendingin. Menjauh dan memberi jarak. Disaat luka itu masih ada dan menganga, tak kunjung tertutup, tak kunjung sembuh...

Ditengah-tengah sedih yang tak kunjung surut, makna akhirnya mulai mengetuk. Mengajarkan penerimaan yang tak pernah sampai. Membacakan pesan tersirat dengan gigi bergemeletuk, menggigil sebab ikhlas yang mengalir seperti sungai.

. . .

Kepada Papa dan Marun, selamat jalan.
Kini aku melanjutkan hidup.

•••

"Jar, gimana sih rasanya make?"

Aku berdecih pada Azka yang duduk di meja belajarku sembari mengajukan pertanyaan dengan acuh tak acuh, sebelum akhirnya aku kembali bergelung pada selimutku. "Pertanyaan lo gak banget,"

"Ya sorry, namanya juga kepo,"

Aku meliriknya dari balik selimut yang menutupi separuh wajahku, sedang memperhatikan sheet musik milikku yang aku yakini ia sendiri tidak mengerti cara membacanya. Sebelum akhirnya membuka selimutku setengah badan.

"Lo beneran mau tau rasanya?"

Azka langsung meletakkan sheet musik di tangannya dan mengalihkan perhatiannya sepenuhnya padaku. Berusaha keras agar terlihat tidak begitu tertarik dengan apa yang aku katakan.

"Rasanya tuh..." aku sengaja menggantung kalimatku untuk melihat reaksinya. Kini senyum tengil Azka berpindah ke bibirku. "Kenapa? Lo mau make?"

Azka mengedikkan bahu, pura-pura tidak tertarik. "Gue cuma pengen tau aja gimana rasanya,"

"Rasanya tuh enak Ka," bola mata Azka terlampau fokus mendengar penjelasanku. "Pelan-pelan lo dibawa melayang, kepala lo rasanya ringan, sampe akhirnya lo mimisan."

Dahi Azka berkerut.

"Mimisan, karena saking enaknya lo bakal hirup lagi dan lagi, sampe jaringan di hidung lo rusak. Terus lama-lama lo bakal kehilangan indera penciuman lo,"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang