Marun POV
Daniel menatapku terang-terangan begitu dia muncul bersama beberapa orang pengawas. Tidak ada borgol atau baju tahanan seperti yang kubayangkan, ia justru hadir dengan pakaian biasa bersama beberapa orang yang mengarahkannya ke dalam ruangan sidang.
Kali ini tidak ada senyum polos bak mailaikat yang biasa ia berikan. Bibirnya membentuk garis lurus dengan tatapan terpasrah yang pernah kulihat. Entah apa yang terjadi pada Daniel yang keras kepala dan sok. Kutebak, mungkin ia sendiri pun tahu ia sudah berakhir detik ini juga.
Tidak seperti padaku, ia hanya melewati yang lain begitu saja. Bahkan tidak menatap kedua orang tuanya yang hadir sebagai wali yang mendampinginya. Ia hanya duduk diam di sebelah pengacara.
Begitu sidang dimulai, jaksa mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang hubungannya dengan Azka dan beberapa hal yang terkait dengan kejadian kecelaan itu. Ketika sampai pada pertanyaan yang paling ditunggu, Daniel tetap tidak mengaku kalau dia melakukannya dengan sengaja.
Saat dimintai keterangan lebih lanjut, hanya pengacara yang sibuk memberikan jawaban mewakilkan Daniel, sedangkan ia hanya diam dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sebisa mungkin memberi keterangan sedikit yang ia bisa.
Setelah Daniel, kini orang tua Azka yang dimintai keterangan tentang kondisi anaknya selama bersekolah di SMA ini.
Saat memasuki pada sesi penyerahan bukti, rekaman CCTV kejadian kecelakaan itu diputar. Mereka sibuk menganalisis video hitam putih itu dan kembali saling melempar argumen.
Saat kecelakaan ini masih diselidiki, aku dan beberapa orang lain yang terkait dengan Azka dan Daniel sempat dimintai keterangan, termasuk Stella. Aku sempat menyerahkan video rekaman ketika aku memergoki perundungan yang dilakukan Daniel pada Fajar di taman belakang sekolah. Meski tidak berhubungan langsung dengan Azka, aku harap itu bisa ikut membantu membongkar boroknya Daniel serta membuka fakta baru bahwa Daniel seorang perundung dan Azka serta Fajar adalah korbannya.
Ketika bukti video yang kuberikan selesai diputar, dengan begini masuklah tuntutan baru bahwa Daniel adalah seorang perundung. Aku dan Daniel sama-sama menoleh pada satu sama lain. Pandangannya masih tidak berubah. Tidak ada amarah ataupun penyesalan disana. Ekspresi yang membuatku bertanya-tanya, apa ia benar-benar tidak merasakan apapun?
Hal-hal menjadi rumit ketika mengingat Daniel masih di bawah umur. Daniel masih akan berumur 17 tahun beberapa bulan lagi, sama halnya dengan anak SMA kelas 3 pada umumnya. Sedangkan batas umur seseorang bisa dipidana adalah 18 tahun.
Aku hanya diam dan mengamati argumen yang berlangsung antara pengacara dan juga jaksa penuntut. Sidang ini menjadi lebih berhati-hati dan bersifat tertutup karena pelaku masih di bawah umur dan memerlukan pengawasan dan bimbingan orang tua. Maka dari itu orang tuanya ada disini sebagai wali yang ikut dimintai keterangan bukan hanya peserta sidang. Namun tak sekalipun Daniel melihat ke arah orang tuanya, entah karena malu entah karena alasan lain yang aku sendiri tidak mengetahuinya.
Satu notifikasi chat masuk, membuatku mengalihkan pandangan pada ponsel di tanganku.
Fajar
Gimana?Begitu selesai membaca, jemariku langsung mengetikkan balasan.
Anda
BelumFajar
Rapat disiplin gue bakal dimulai sekarang.Jantungku mendadak tidak karuan membaca pesannya.
Anda
Semoga hasilnya baikFajar tidak membalas lagi setelah membacanya. Fokusku kembali pada Daniel yang masih tidak berubah dari posisinya semula, memperhatikan orang-orang yang memperdebatkan umurnya sebagai pertimbangan untuk memaafkan perbuatannya atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Fiksi RemajaKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...