Fajar POV
Drrtt drrtt drrtt
Untuk kesekian kalinya lagu Smell Like Teen Spirit kembali bergema di kamarku. Menyerah, akhirnya aku mengangkat kepala dan mencari benda persegi yang aku lemparkan beberapa saat yang lalu. Meraih ponsel di ujung tempat tidur dan mematikan alaram dengan lagu kelewat berisik tersebut.
Aku kembali berbaring dan menghembuskan napas berat. Kepalaku pening. Tentu, karena aku baru tidur pukul 4 pagi. Mengecek jam di ponsel, aku mendapati kini sudah jam 10 lewat 5 menit.
Hari ini libur, dan seberapa keras pun aku berusaha untuk mengikuti aturan tidur dan bangun di jam yang sama setiap hari di buku catatan yang diberikan Marun, tetap saja selalu ada hari-hari dimana aku bolos untuk memenuhi kewajibanku kepada diri sendiri. Iya, begitu yang tertulis di sana.
Makan, mandi, tidur, istirahat dan segala bentuk kegiatan merawat diri lainnya adalah hak dan kewajiban pada diri sendiri. Aku masih ingin tertawa tiap kali mengingat itu. Tapi aku tetap melakukannya. Entah apa yang membuatku menjadi begitu penurut hanya karena sebuah buku catatan. Mungkin, karena aku memukan harapan disana.
Ponsel di tanganku kembali bergetar. Awalnya kukira alaram lagi, tapi ternyata bukan. Itu adalah sebuah pesan masuk, dari Marun. Lucu karena aku baru saja memikirkannya. Kubuka ruang obrolan yang hanya menampilkan chat sepihak tersebut. Marun selalu bicara sendiri dan aku selalu membacanya meski tidak pernah membalas pesannya.
Marun send a picture
Marun
Hari ini kosong gak?Temen gue ada yang ngadain acara musik kampus gitu, mau pergi bareng?
Aku membuka foto yang baru saja dia kirim. Dua tiket acara kampus seperti yang dia bilang, di salah satu universitas musik di pinggiran Jakarta. Acaranya sudah mulai dari pukul 8 pagi tadi dan hanya sampai jam 7 malam. Aku kembali ke ruang obrolan dengan Marun, tertera tulisan online di bawah namanya. Dia pasti menunggu jawabanku. Apa aku akan pergi? Entahlah. Sesaat kemudian ponselku kembali bergetar.
Marun
Katanya bakal ada Reality Club lho.Sudut bibirku tertarik. Seingatku aku tidak pernah bilang ingin menonton Reality Club padanya. Tidak lama kemudian satu pesan kembali muncul.
Marun
Gue pengen dateng tapi gak berani pulang sendirian. Mau, ya?Sebenarnya saat dia bilang akan ada Reality Club aku sudah tergelitik untuk mengiyakan. Bukan karena aku penggemar Reality Club atau apa, tapi aku tergerak saja dengan usahanya untuk membujukku dengan iming-iming band asal Jaksel tersebut. Akhirnya aku mengetikkan balasan untuknya bertanya jam berapa dia ingin bertemu. Tanpa diduga pesan itu ternyata langsung dibaca oleh Marun.
Marun
Jam 2, ketemu langsung disana ya.Anda
Oke
Aku menutup ponsel kemudian kembali bergumul dalam selimut dengan malas, meringkuk dan menyembunyikan diri sampai ke atas kepala. Tapi aku tidak bisa tidur lagi karena otakku sekarang menjadi terlalu aktif dan sepenuhnya sadar memikirkan ajakan Marun. Akhirnya aku kembali membuka selimut sebatas leher dan memandangi langit-langit, sebuah kebiasaan.Dalam usahaku untuk tidak memikirkan apapun, akhirnya aku bangkit dari acara berbaring dan duduk di pinggiran tempat tidur. Bayangan diriku sebatas bahu muncul di kaca. Ah, rambutku. Apa aku akan bertemu Marun seperti ini? Sepertinya aku akan melakukan sesuatu yang tidak perlu hari ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...