Fajar POV
Aku mengikat tali sepatu dengan asal disusul suara pintu yang dibanting dan bunyi kunci yang diputar dua kali. Ponselku tidak berhenti bergetar sejak subuh dan itu membuatku muak. Sisa-sisa kesadaranku mengatakan aku akan membutuhkan ponsel ini jadi akhirnya aku mengalah dan mematikannya alih-alih melemparkannya ke dinding.
Aku tidak bisa tidur karena notifikasi berisik itu dan sekarang aku harus pergi ke sekolah. Aku tidak pernah berhenti menggerutu sepanjang malam dan rasa kesalku tetap tidak berkurang sama sekali. Aku benci hari ini. Meski hari ini baru dimulai, aku sudah tau aku akan membenci hari ini. Aku benci hari-hariku setiap hari. Sugesti dari alam bawah sadarku yang menyuruhku begitu. Untuk tidak berharap pada apapun, jangan merasa senang karena pada akhirnya akan sengsara juga. Dan kalau harapanku sudah berada di titik nol, maka tidak akan ada yang bisa mrngecewakan aku lagi.
Tapi begitu aku menginjakkan kaki di pelataran sekolah, sepertinya perhitunganku salah. Di bawah nol masih ada minus.
Tau musim gugur? Seperti itu keadaan sekolah saat ini. Angin menghempas dedauan ke segala arah, membuat sepatuku yang sama jeleknya tertimbun dedaunan kering dan membuatku berdecak. Sepanjang jalan aku terlalu sibuk mengutuk segala hal yang muncul di pikiranku sampai tidak menyadari bahwa pagi ini langit diselimuti mendung. Dan juga, ini terlalu dingin untuk ukuran pagi di musim panas.
Aku melanjutkan langkah pelan, melewati tatapan-tatapan yang dengan terang-terangan tertuju padaku. Sudah lama sejak terakhir kali kehadiranku sepenuhnya dianggap utuh. Perhatian ekstrim dari sekitar membuatku sadar sesuatu tengah terjadi. Banyak yang menatapku benci meski aku tidak kenal mereka. Banyak juga yang menatapku jijik meski aku merasa tidak pernah melakukan apapun pada mereka.
Lama-lama langkahku menjadi cepat. Yang jelas rasanya seperti mimpi buruk yang sama terulang kembali. Pola ini terlalu sama, terlalu mirip, begitu persis sampai mungkin aku akan percaya jika seseorang mengatakan aku tengah kembali pada kejadian satu tahun lalu.
"Dasar hypersex,"
Sudut bibirku bergerak, bahkan hujatan penuh nada sarkas yang dibalut bisikan itu masih sama. Aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi kali ini ketika semua orang sibuk menatap ponselnya kemudian menatapku, setelahnya beralih pada ponsel mereka kembali, seperti sedang menyocokkan sesuatu.
"Kayaknya emang beneran dia, deh."
"Sumpah ya, gue kira udah tobat, emang kalo dari awal bejat bakal tetap bejat."
Bisikan-bisikan itu menggelitik gendang telingaku. Apa? Siapa? Apa yang mereka semua lihat di ponsel mereka?
Aku mempercepat langkah menuju kelas, ingin segera mengecek ponsel milikku sendiri yang sedari tadi kunonaktifkan. Siapa sangka kalau notifikasi yang mengusikku sejak pagi mungkin saja adalah sesuatu tentang diriku sendiri.
Begitu aku sampai di mulut pintu, kelas yang tadinya riuh kini mendadak diam dengan semua mata tertuju padaku. Aku menegakkan langkah, memasang sikap seolah-olah aku tidak peduli meski sebenarnya aku mendengarkan tiap perkataan yang mereka lontarkan.
"Anjir, masih punya muka juga nih anak datang ke sekolah,"
"Gak kaget lah, tahun lalu aja dia tetep masuk kok, malah berantem sama pacarnya korban,"
"Temen sendiri digarap juga,"
Dahiku mengernyit dalam, tidak memahami maksud dari kalimat terakhir. Seorang teman sekelas yang bahkan tidak kuketahui namanya mendadak muncul dan dengan asal duduk di atas meja orang lain, menghalangi jalanku menuju mejaku di barisan paling belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...