Fajar POV
Sesuatu yang terasa kecil namun menyakitkan mendarat di kepalaku, membuyarkan lamunanku tentang pertemananku dengan Azka. Anehnya meski sudah sadar sepenuhnya dan bisa melihat dinding kelas yang polos di sebelahku, rasa nyeri itu masih tersisa di dadaku. Ada rasa takut yang menyelinap di celah-celah pikiranku, bagaimana kalau pertengkaran kami di rumah Stella adalah pertengkaran kami yang terakhir kalinya?
"Fajar!" teriakan itu membuatku berjengit kaget dari tempat dudukku. Bersamaan dengan itu benda kecil yang tadinya mendarat di kepalaku menunjukkan diri, potongan kapur.
Aku langsung menegakkan tubuh begitu menyadari situasi yang sedang terjadi. Guru Sejarah di depan kelas menatapku dengan nyalang mendapati murid sasarannya tertangkap basah tidak memperhatikan pelajaran.
"Bisa-bisanya kamu tidur di mata pelajaran saya. Maju ke depan!"
Oh, shit. Here we go, again. Sial, sial, siaaalll.
Selambat mungkin aku bangkit dari dudukku dengan enggan. Suasana hatiku langsung terjun bebas sampai menembus bawah tanah. Kenapa rasanya saat aku berusaha segalanya malah memburuk, dan saat aku pasrah segalanya jadi lebih buruk lagi?
"Kenapa muka kamu begitu? Kamu nantangin saya?!" Guru cerewet itu kembali mengomel dengan suara menggelegar di udara.
Lantas aku menundukkan pandangan mengalah. Wajahku dari lahir sudah seperti ini memangnya dia mau apa? Memangnya dia berharap aku akan tersenyum saat mengetahui diriku akan terkena masalah? Orang-orang brengsek ini selalu saja mencari kesalahan hingga celah terkecil bahkan raut wajah sekalipun.
"Ambil buku paket kamu!" ujarnya begitu aku sampai di depan kelas.
Memutar bola mata, akhirnya aku berbalik menuju meja terdekat kemudian menarik salah satu buku dari meja teman sekelas. "Pinjem," ujarku tanpa minat. Aku tau sebenarnya mereka tidak sudi tapi aku juga tidak peduli. Aku hanya ingin pertunjukan yang sedang dibuat Guru Sejarah ini cepat berakhir.
Begitu kembali ke posisiku, Guru itu malah merebut buku di tanganku. "Mana buku kamu?"
"Gak bawa Bu--"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah penghapus sudah kembali melayang menuju kepalaku. Rasa sakitnya langsung membuatku menutup mulut. Tanganku refleks memegangi sisi kepalaku yang baru saja dihantam benda keras tersebut. Saat aku melihat ke lantai, itu bahkan bukan penghapus plastik melainkan penghapus kayu. Pandanganku langsung beralih pada sang pelaku yang sedang menatapku dengan sok. Guru Sejarah ini sudah gila ya?
Beberapa gelak tawa dari barisan belakang terdengar, tetapi sedetik kemudian langsung bungkam begitu Guru sok ini mengedarkan pandangan. Pasti lucu bagi mereka. Tentu, tidak peduli itu menyakitkan atau tidak selama yang dipukul dan dipermalukan bukan mereka.
"Mata kamu!" bentakan itu kembali tertuju padaku.
Aku kembali menunduk begitu gelombang suara itu mencapai telingaku. Tingkat rasa sakit hati yang kurasakan saat ini tidak sebanding dengan sakit di kepalaku yang masih berdenyut.
"Ini dia salah satu contoh murid yang gak pantas ditiru!" ujarnya memulai pertunjukkan. "Sudah gak pernah belajar, jarang masuk, baju urakan," Guru itu menarik-narik seragamku. "Biang masalah lagi!"
"Gak bawa buku paket pula!" bersamaan dengan itu buku paket super tebal yang ia rebut dariku tadi dipukulkan ke salah satu sisi wajahku hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Beberapa anak di kelas kembali tertawa. Dan aku kembali menelan rasa sakit hatiku.
"Harusnya kamu bersyukur gak dikeluarkan dari sekolah! Murid kayak kamu ini bisanya cuma mencemari nama sekolah, biang onar!" sembari mulutnya mengeluarkan cemoohan, tangannya yang memegang buku itu juga masih setia memukuli punggungku pada tiap jeda kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...