Escape

61 19 36
                                    

Fajar POV

Hari ini hari senin, hari pertama semester baru setelah libur kenaikan kelas dan aku tidak pernah sebersemangat ini untuk pergi ke sekolah. Karena siapa lagi kalau bukan karena seseorang yang sudah kutunggu kehadirannya di kelas musik siang ini.

Beberapa orang sudah memenuhi bangku di depanku dan seperti biasa aku di sudut kanan selalu memperhatikan semua orang dari belakang. Tapi kali ini pintu kelas lebih menarik perhatianku. Sampai akhirnya wajah yang kutunggu itu muncul. Kepalanya menyembul duluan di depan pintu sebelum tubuhnya menyusul.

Aku sudah mengiriminya pesan dua kali hari ini dan melihat senyum lebarnya saat berhasil menemukanku membuatku merasakan perasaan yang sudah lama tidak kurasakan. Aku terlampau senang hingga enggan menutupinya. Sepanjang Marun berjalan menghampiriku, mataku tidak pernah bisa lepas dari sosoknya. Ia kemudian duduk di meja sebelahku.

"Gue duduk di sana, ya?" tunjuknya pada bangku kosong di sebelahku.

Aku menggeleng. "Jangan, disitu aja."

"Kenapa?" raut wajahnya yang selalu saja ekspresif itu kembali membuatku tergelitik untuk menarik sudut bibir.

"Gue gak mau orang mikir aneh-aneh liat lo deket-deket sama gue."

Marun cemberut sedikit tapi tetap menurut. Tidak lama kemudian Pak Malik datang. Aku sedang bersiap untuk memperhatikan pelajaran beliau sampai sebuah suara ketukan pintu menginterupsi. Begitu aku mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk, suasana hatiku langsung terjun drastis.

"Selamat siang Pak," sapa Daniel di depan sana.

"Lho, kamu mau ikut kelas musik juga? Emangnya gak belajar buat UN?"

Aku memperhatikannya tanpa minat dari belakang sini. Sudah sangat jelas alasannya berada di kelas ini kalau bukan karena aku ya karena Marun. Entah apa lagi yang dia rencanakan kali ini.

"Iya Pak, soalnya ada yang bikin saya pengen gabung kelas ini," kemudian ia tersenyum malu-malu sambil melirik Marun. Seisi kelas menjadi riuh karena tingkahnya sedangkan aku merasa jijik.

Pak Malik beralih pada seisi kelas. "Yang lain juga, harusnya anak kelas 3 sudah mulai fokus UN jangan ikut kelas bapak lagi,"

Beberapa orang masih sibuk menggoda Daniel dan Marun. Sedangkan Marun, ketika aku meliriknya ternyata raut wajahnya tidak jauh berbeda denganku. Mengetahui fakta bahwa ia juga tidak menyukai Daniel membuatku merasa sedikit terhibur.

"Yasudah, duduk sana," begitulah Pak Malik, selalu baik pada murid-muridnya. Beliau saja baik pada berandalan sepertiku apalagi pada murid pintar seperti Daniel.

"Sebentar Pak, saya mau ngasih barang dulu," kemudian Daniel berjalan menuju mejaku, lebih tepatnya meja Marun.

Baru kusadari sedari tadi ia membawa paper bag kecil berwarna merah muda lengkap dengan pita dan motif hati di tangan kanannya. Begitu sampai di depan meja Marun, ia menyerahkannya pada gadis itu disaksikan seisi kelas yang seketika kembali riuh lebih dari yang sebelumnya.

Marun menatap Daniel bingung, sedikit merasa terganggu dengan tingkahnya di hadapan semua orang. "Buat lo, gantiin handphone lo yang gue rusakin kemarin,"

Oh, jadi dia biang keroknya yang membuat pertemuanku dan Marun minggu lalu tertunda selama 4 jam. Memang sialan.

Belum sempat Marun menolak, Daniel sudah keburu berbalik badan. Dan sebelum itu saat semua orang sibuk menggoda dua sejoli yang dikira sedang mabuk asmara ini, Daniel meninggalkan secarik kertas yang dilipat di atas mejaku tanpa ada satupun yang menyadari.

Aku menghela napas tanpa suara sebelum meraih kertas yang ditinggalkannya secara diam-diam. Jujur saja aku terlalu muak untuk drama yang akan dia ciptakan demi menyingkirkanku dari pandangannya ketika sebenarnya dia sendiri yang selalu melanggar zonaku, seperti sekarang ini.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang