Marun POV
Aku baru saja menutup panggilan dari Fajar sebelum kemudian berlanjut memandangi benda persegi di tanganku dalam diam. Tidak biasanya Fajar yang menghubungiku duluan, tidak biasanya juga dia mengeluh lebih dulu sebelum aku bertanya. Apa ada sesuatu yang terjadi?
"Hai, Marun," aku menoleh ke samping ketika sapaan dengan suara manis itu memasuki gendang telingaku. Daniel.
Setelah memberinya senyum singkat aku tidak begitu memperhatikannya lagi yang sedang duduk di sampingku. Sedang tidak mood untuk berbasa-basi dengan manusia bermuka dua seperti dia setelah dimarahi habis-habisan karena tidak menang semalam.
Pelajaran hari ini di tempat les biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Aku hanya mengikuti sesuai petunjuk dan belajar sefokus yang aku bisa sampai lupa kalau Daniel berada begitu dekat denganku kurang dari jarak 1 meter. Ketika jam pelajaran sudah habis, aku melirik sejenak padanya yang ternyata juga sedang memandang ke arahku sebelum beranjak dari tempat dudukku. Saat itulah Daniel memanggil.
"Marun,"
Aku menoleh dalam diam, tidak terkejut, tidak pula kesal. Sedikit banyak aku hampir terbiasa dengan tingkahnya yang suka memanggilku tiba-tiba kemudian menghujaniku dengan hal-hal yang merepotkan.
"Habis ini langsung pulang? Temenin gue makan malam dulu yuk?"
Kenapa harus aku? "Gak mau," jawabku to the point. Sudah kubilang aku sedang tidak ingin bermanis-manis ria dengan siapapun. Aku lelah menjadi Marun yang sempurna.
"Sekali ini aja, mau ya?"
"Gue capek, mau pulang," balasku tanpa minat.
Daniel tersenyum simpul. Senyum yang entah kenapa terlihat menyebalkan bagiku. "Sayang banget, padahal gue pengen ditemenin sama lo. Kayaknya gue ngajak Fajar aja deh,"
Buru-buru aku menahan tangannya begitu ia hendak berbalik. "Maksud lo?"
Senyum Daniel semakin lebar. Semacam ada kepuasan tersendiri di wajahnya mendapati diriku menahannya. Buru-buru aku melepaskan lengannya kembali. Masih dengan senyum ia menjawab, "Iya, makan sama Fajar,"
"Gue lagi gak pengen bercanda. Langsung aja deh, lo ngancem gue pake Fajar?"
"Itu lo pinter," akhirnya rubah ini kelihatan juga busuknya. "Mending lo makan sama gue atau Fajar yang makan sama gue?"
Aku memandangnya menyelidik. Yakin ini cuma makan malam?
"Oh iya, supaya lo lebih yakin, ada yang pengen gue tunjukin sama lo,"
"Apa?" sergahku cepat.
Daniel mengutak-atik ponselnya sejenak sebelum ponsel milikku di dalam saku bergetar. Ketika aku mengecek apa yang baru saja di kirim Daniel, aku gagal menyembunyikan keterkejutanku. Jantungku rasanya hendak melompat dari sarangnya. "A-apa ini?"
"Lo bisa liat sendiri di foto itu Fajar lagi ngapain," Demi Tuhan aku membenci senyum Daniel lebih dari apapun.
Dengan tangan gemetar aku menaikkan kontras cahaya di ponselku. Foto itu gelap, hampir hanya hitam yang terlihat. Begitu penerangan layar ponselku mencapai batas maksimal, aku merasa aku melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat.
Wajah Fajar tertangkap jelas bersama dengan seorang perempuan dengan posisi yang mencurigakan di sebuah ruangan yang gelap dan kotor, ada beberapa sepatu yang tertangkap di sudut foto. Aku memperbesar foto itu dan memang benar ada beberapa kaki di sana. Fajar tidak sendirian.
Pandanganku beralih pada Daniel dengan sengit. Aku yakin sekali ini adalah foto yang diambil saat kejadian setahun lalu, foto yang tidak pernah kutemukan jejaknya sebanyak apapun aku mencari, foto yang tidak aku ketahui keberadaannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...