*Lemme drop Fajar pict here hehe :p*
Bismillah
•••
Fajar POV
"Gak apa-apa nih kita di sekolah gini?" aku kembali memastikan sembari Marun yang justru kelihatannya lebih bersemangat dariku menarik-narik tanganku di sepanjang koridor yang kosong.
"Gak apa-apa, ini kan hari minggu, lo gak bakal ketemu siapapun," ia berbalik badan dan melepaskan tarikan tangannya padaku begitu kami sampai di depan pintu ruang musik.
Aku menatapnya ragu, sedangkan ia sibuk memberiku senyuman meyakinkan sembari tangannya membentuk gestur mempersilahkanku masuk duluan.
Berbekal senyumnya yang cukup menggelitik kelopak hati, akhirnya aku mendorong pintu cokelat yang dilapisi debu itu dengan pelan, melihat isinya sebentar, sebelum akhirnya membukanya dengan lebar.
Ornamen-ornamen yang didominasi oleh warna cokelat tua langsung menyambutku. Suasana ruang musik yang gelap dan tenang dihiasi oleh sinar matahari sore yang menguning dan menerobos masuk lewat jendela. Memberiku perasaan rindu saat segalanya masih belum sejauh sekarang. Pada hari-hari dimana aku masih mengenakan seragam sekolah.
"Udah lama banget gue gak kesini,"
Marun mengangguk setuju. Senyumnya yang dikulum membuat lesung pipinya mengintip malu-malu.
Aku mendudukkan diri di depan piano cokelat yang sempat membuatku terkesima di hari-hari lalu. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sekolah sejak terakhir kali aku meninggalkan tempat ini dengan sekantong rasa marah dan kecewa pada Azka, pada semuanya.
"Gue cuma bisa bawain gitar dari ruangan ini buat lo. Untuk piano, lo yang harus berani nyamperin sendiri,"
Aku menoleh pada Marun. Ia berdiri tidak jauh di sebelahku, masih dengan senyum yang memberiku banyak kekuatan, senyum yang aku tidak pernah tau bahwa aku membutuhkannya.
Pandanganku kembali pada piano di depanku. Tutsnya berdebu, lama tak disentuh oleh yang merindukannya. Seandainya piano ini punya nyawa, apakah ia akan kegirangan menyambutku? Atau justru kesal karena ditinggalkan orang-orang dan tak pernah dimainkan lagi.
Sampai sini napasku masih teratur. Sampai sini aku masih baik-baik saja. Jadi yang ingin kulakukan adalah merelakan hal-hal yang kini tidak lagi bersamaku. Sembari aku mengingat dan berusaha untuk baik-baik saja, ada banyak penyadaran-penyadaran yang datang padaku. Tentang apa arti piano yang sebenarnya untukku. Teman yang menemaniku dikala kesepian sepeninggalan Papa, atau justru aku menganggap piano adalah representasi dari Papa itu sendiri? Mungkin jawabannya yang kedua.
Satu persatu kekosongan di hatiku mulai terisi dengan potongan-potongan jawaban yang kutemukan sendiri. Potongan puzzle itu kini mulai menemukan gambar yang jelas. Sesak yang selama ini tidak kuketahui darimana asalnya kini mulai melonggar seiring aku yang mencari tahu obatnya.
Kendati rasa gugup ini mencair, jantungku masih tetap berdebar kencang. Aku menghela napas. Kedua tanganku di atas pahaku bergerak ragu-ragu sebelum akhirnya berhasil mendarat di atas tuts hitam dan putih. Jari-jariku bergerak kaku, entah karena sudah lama tidak menari-nari di atas piano, entah karena lagu yang kumainkan saat ini adalah lagu yang paling aku hindari.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...