Breathe

73 19 20
                                    

Fajar POV

Pekarangan sekolah masih ramai meski sudah jam 8 lewat. Beberapa orang terlihat masih berkeliaran dan duduk-duduk santai di koridor. Lagi, aku harus berhadapan dengan mata-mata kepalaran yang rasanya akan mengulitiku sampai ke tulang-tulang. Mereka semua terlihat bingung sekaligus penasaran, namun tujuanku ke sekolah ini hanya satu, yaitu Daniel.

Aku tetap berjalan lurus-lurus melewati mereka semua, memasuki koridor dan menelan ludah begitu melihat ruang BK yang lebih ramai dari biasanya. Surat di tanganku kugenggam lebih erat seiring langkahku yang mulai mendekat. Kurapikan seragamku untuk menghilangkan rasa gugup. Aku bisa melewati ini, aku akan melewatinya apapun yang terjadi.

Di depan ruang BK, ada banyak sekali guru-guru yang melihat ke satu titik yang sama. Suara guru BK yang biasanya memarahiku itu menggelegar di udara, memarahi orang lain yang bukan aku.

Aku melangkah masuk ke bingkai pintu, menginterupsi kemarahannya dengan ketukan, lalu dengan mudahnya seluruh atensi beralih padaku. Termasuk atensi anak lain yang sedang di marahi itu, Daniel.

"Fajar, masuk."

Aku melangkah melewati guru-guru lain yang menonton. Melihat si murid yang katanya teladan membuat masalah tentu adalah tontonan menarik bagi guru-guru yang merasa kecewa dan terkhianati oleh ekspektasi mereka terhadap Daniel.

Aku berdiri bersisian dengannya menghadap guru BK yang bertugas. Melihatnya ada disini dengan keadaan yang kacau balau sama dengan membenarkan perkataan Danu di rumah sakit sebelumnya. Daniel yang biasanya selalu rapi kini sebelas dua belas denganku. Seragamnya berantakan seperti berandalan, tatapannya marah seperti baru saja disakiti oleh sesuatu yang mengerikan disaat seharusnya akulah yang menatapnya begitu.

Entah apa dosaku padanya, yang jelas aku sudah terlalu muak untuk orang yang selalu merasa menjadi korban disaat sebenarnya dia adalah pelaku. Aku menatapnya datar, tanpa emosi. Kali ini dia yang menjemput kematiannya sendiri dan aku berada disini untuk melihatnya runtuh. Kalau dia berusaha naik, aku yang akan balas menginjaknya sebagai bayaran atas apa yang dia lakukan terhadap Azka.

"Fajar," Guru yang lain datang, kali ini Kepala Sekolah yang turun tangan langsung, Pak Joko namanya. Pakai kacamata dan membawa penggaris kayu panjang di tangannya. Siap menghajarku kapanpun jawabanku tak sesuai dengan yang diingkan sekolah ini. "Apa benar yang dibilang Daniel ke pihak sekolah? Kamu ditemukan overdosis narkoba di rumahmu beberapa minggu lalu?"

"Bener Pak."

"Tuh kan Pak, apa saya bilang? Fajar ini biang onar!"

Belum sempat yang lain bereaksi, Daniel yang tadinya diam kini paling bersemangat menunjukku dengan jarinya begitu aku mengakuinya.

"Diam kamu! Apa bedanya kamu sama Fajar? Bisa-bisanya nabrak teman sendiri dengan sengaja!"

"Udah saya bilang saya gak sengaja Pak! Saya gak tau kalo Azka ada disana. Tapi Fajar, dia ngakuin sendiri kalo dia overdosis narkoba!"

Aku menatapnya sengit. Kepanikannya saat ini hanya menunjukkan bahwa dia sedang merasa terancam. Aku sudah pernah melihat Daniel marah, tapi belum pernah melihatnya frustasi seperti ini sampai kehilangan topengnya. Dan kurasa orang-orang disini pun baru pertama kali melihat sosok Daniel yang ini. Caranya bereaksi terhadap tekanan sangat-sangat tidak Daniel yang mereka kenal selama ini.

"Menyalahkan orang lain gak bikin kesalahan kamu jadi hilang!" Pak Rahmat sang guru BK menggebrak meja.

"Fajar, fokus kesini!" aku kembali pada Pak Joko yang kini mengeraskan rahangnya. "Kemana aja kamu selama ini? Wali kelas kamu bilang sebulan penuh kamu absen!"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang