Fajar POV
Terbangun di pagi hari dan aku masih merasa ingin mati. Dan seperti yang selalu kulakukan sejak seminggu belakangan ini, buru-buru kutepis segala pikiran itu, menyingkirkan selimut dan bergegas mengguyur kepalaku dengan air dingin di kamar mandi.
Aku harus seperti ini kalau tidak mau pikiran-pikiran buruk itu menggerogotiku lagi. Aku harus berhenti menunda-nunda dan bermalas-malasan di tempat tidur, mencari pengalihan meski dengan cara menyiksa diriku sendiri dengan rasa dingin di pagi buta seperti ini. Setidaknya itu lebih baik karena penyebab rasa dinginnya kelihatan. Tidak abstrak seperti perasaan-perasaan down yang menyerangku tanpa kenal waktu.
Setelah selesai mandi aku membereskan tempat tidur dan juga sekeliling rumah. Tidak banyak yang harus dibersihkan kecuali piring kotor di wastafel yang kugunakan untuk makan semalam. Membuka jendela dan membiarkan udara segar masuk ke dalam rumah yang belakangan ini sudah terlihat hidup lagi.
Setelah semuanya beres, aku bergegas pergi meninggalkan rumah. Ujian akhir semester sudah berakhir beberapa hari yang lalu dan hari ini adalah hari ketigaku di tempat kerja. Hanya sebuah restoran cepat saji di pinggir jalan, tapi gajinya aku rasa cukup untuk makan sebulan.
Sejujurnya perasaanku masih terasa berat, begitu pula dengan langkah kakiku. Padahal pergi bekerja adalah hal normal yang dilakukan orang-orang sebagai kegiatan sehari-hari. Tapi aku bahkan masih tidak mampu melakukannya. Setidaknya dalam pikiranku.
Berinteraksi dengan orang baru di tempat kerja, orang-orang asing yang menjadi pelangganku, perasaan takut berbuat salah, takut dikucilkan, perasaan semua orang memandang aneh ke arahku. Aku masih tidak bisa menepis itu semua meski tempat ini baik-baik saja dan jauh berbeda dengan keadaan di sekolah. Benar, yang tidak baik-baik saja disini adalah aku.
Jangan, bangkit juga ngapain? Nanti kalau gagal malah makin sedih, makin hancur. Tapi bukannya sekarang udah hancur?
Nanti diremehin lagi, diejek lagi, makin kacau lagi. Gak usah, jangan, jangan, jangan. Gak akan bisa. Nyerah aja.
Bisikan-bisikan semacam itu selalu bergema di kepalaku tiap waktu. Dan seberapa keras aku mencoba untuk tidak memikirkannya, kenyataannya aku masih memikirkannya lagi sekarang. Tapi langkah kakiku yang terus maju menuju tempat kerja ini meneriakkan bahwa aku bisa 'kan? Meski nyaliku masih tertinggal di rumah dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Aku masuk ke dalam, mendorong pintu kaca yang hangat sehabis dihujani sinar matahari pagi. Beberapa sesama pekerja tersenyum, menyapa. Mereka ramah dan lugu, tidak tau apa-apa. Tidak tau betapa cemasnya aku meski ini sudah hari ketigaku bekerja disini.
Aku pergi ke loker dan berganti pakaian dengan seragam kerjaku, hari ini kebagian shift pagi. Membantu yang lain beres-beres dan bersiap membuka restoran. Begitu terus sampai matahari mulai meninggi dan pelanggan satu persatu mulai berdatangan.
Setelah mengantarkan pesanan, aku beralih membereskan meja yang baru saja digunakan. Bel pintu berdenting disusul suara-suara ramai dan aku mengucapkan kalimat selamat datang. Tapi dari seluruh kecemasan-kecemasan yang aku sebutkan, sepertinya aku lupa satu hal. Aku takut bertemu orang-orang yang aku kenal di tempat kerja. Seperti saat ini, rombongan anak OSIS angkatanku--atau mungkin bisa dibilang sudah mantan OSIS sekarang karena sebentar lagi mereka akan serah terima jabatan--beramai-ramai memenuhi meja di sudut ruangan.
Aku beralih ke belakang, membawa semua cup minuman dan makanan sisa di meja yang baru saja kubereskan dan membuangnya ke tempat sampah. Semoga saat aku kembali nanti sudah ada yang melayani meja mereka. Seingatku aku tidak pernah memohon pada Tuhan sekeras ini.
Dan, ah, sial. Aku memang selalu sial. Hidup memang tidak pernah berpihak padaku. Aku melirik ke sekeliling dan semua rekanku sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dengan sangat amat terpaksa, aku mengambil buku menu dan catatan sebelum pergi menuju meja mereka. Obrolan seru yang tadinya terdengar ramai sekali itu seketika diam. Haruskah mereka menunjukkan reaksi sedrastis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...