On the Edge

61 16 20
                                    

Fajar POV

"Azka udah sadar!"

Satu panggilan telepon dari Stella sanggup membuatku terlonjak dari tempatku melangkah, lantas berbalik arah dari menuju sekolah kini menjadi berlari menuju halte bus ke arah rumah sakit.

Siswa-siswa berseragam berhamburan ke arahku yang sedang melawan arah, kemudian menatap tak suka saat aku dengan sembrono menabrak mereka. Namun saat ini tidak ada yang lebih penting selain Azka.

Begitu sampai di seberang halte, bisa kulihat Marun baru saja turun dari bus yang ditumpanginya sembari memainkan ponselnya dengan raut wajah serius.

"Marun!" Aku menyerukan namanya sampai beberapa orang yang tidak berkepentingan ikut menoleh, termasuk dirinya.

Setelah melihat ke kanan dan kiri, aku berlari membelah jalanan menuju gadis berlesung pipi yang mata cokelatnya sering kali menarikku seperti magnet itu. Ia menatapku dengan pupilnya yang membesar, ponselnya masih setia di kedua tangannya yang belum diturunkan.

"Azka, Azka udah sadar,"

Marun mengangguk bersamaan dengan lesung pipinya yang muncul saat ia tersenyum. "Gue barusan juga dapat kabar dari Stella,"

Bus sebelumnya yang sudah pergi beberapa saat yang lalu kini digantikan oleh bus lain yang akan membawaku dan Marun menuju Azka dan Stella. Beberapa orang turun dari bus dan aku dengan tidak sabaran langsung menarik tangan Marun untuk mengikutiku naik ke dalam bus.

Setelah berjalan masuk ke dalam beberapa langkah, aku menariknya untuk berdiri lebih dekat padaku, tidak terlalu jauh dari pintu keluar agar kami bisa segera turun saat sudah sampai.

Bus pagi selalu ramai oleh orang-orang dengan berbagai tujuan, tidak pernah tidak berdesakan. Aku meraih pegangan di atas kepala tanpa melepaskan genggamanku di tangan Marun, alih-alih menariknya untuk semakin merapatkan diri sampai dahinya tepat berada di depan bibirku.

Bus yang mulai bergerak membuat beberapa orang kehilangan keseimbangan termasuk Marun. Sedangkan aku tetap tidak bergeming di tempatku membiarkannya berpegangan padaku. Karena dari awal aku menariknya mendekat memang itu tujuannya, agar ia berlindung padaku saja. Tidak perlu berpegangan pada benda mati ataupun orang lain. Biar aku saja yang menjaganya.

Marun terlihat salah tingkah dengan jarak yang terlalu dekat diantara kami. Dan aku merasa bersalah karena tidak bisa memberinya senyum saat ia mendongak untuk melihatku, karena pikiranku masih terkunci pada Azka. Sangat disayangkan melihat raut wajah yang manis tadi berubah karena moodku pasti mempengaruhinya juga.

"Hari ini kan rapat panggilan orang tuanya?"

Aku mengangguk. Satu tangan Marun yang tidak menggenggam tanganku kini mengelus lenganku yang satunya tanpa melepaskan tatapannya dariku. "Semuanya bakal baik-baik aja. Azka pasti bakal baik-baik aja,"

Aku kembali menariknya mendekat dengan pelan kemudian ikut mendekatkan diri sampai sisi wajahnya menyentuh dada kananku dengan samar. Kubiarkan dagu dan pipiku bersentuhan dengan rambutnya yang beraroma stroberi. Diam-diam aku sedang memeluknya dalam pikiranku, karena terlalu malu jika memeluknya sungguhan di tempat umum seperti ini.

•••

Aku membuka pintu kamar Azka dengan terburu-buru dan kasar sampai sang pemilik kamar sendiri terkejut dengan kegaduhan yang kuciptakan. Hanya ada Stella di dalam, entah dengan orang tua Azka tapi yang jelas menanyainya soal apa yang terjadi jauh lebih penting sekarang.

"Gue kira lo bakal mati!"

Azka masih memegangi dadanya bekas keterkejutannya barusan. "Lo ngagetin gue yang bisa bikin gue mati!"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang