Fajar POV
Aku membuka mata dengan perlahan ketika kesadaran menghampiriku seperti bius yang menghilang. Perlahan seperti tidak terjadi apa-apa, dan juga rasa hampa. Kepalaku terasa ringan, tapi pikiranku terasa berat.
Alaram pagi belum berbunyi dari ponselku. Masih kurang dari setengah jam lagi dari waktuku untuk bangun, tapi aku merasa tidak bisa tidur lagi. Alih-alih alaram, suara pertama yang menyambutku pagi ini adalah nada pesan masuk.
Aku meraba-raba sofa di sekitarku berusaha mencari benda yang menjadi sumber suara. Hanya untuk menemukan satu pesan dari manager di tempatku bekerja. Ditulis dengan formal tapi isinya singkat, padat dan jelas. Aku dipecat.
Tiba-tiba perasaan hampa yang menaungiku terisi kembali dengan rasa marah, kesal, benci dan teman-temannya yang lain. Kejadian semalam kembali muncul di ingatan. Aku tidak bekerja dengan benar. Lebih tepatnya tidak bisa. Azka, Stella, Daniel dan juga Marun. Orang terakhir yang kusebutkan adalah orang yang paling membuatku kecewa.
Kemudian aku kembali merasa marah, entah untuk apa. Aku merasa tidak ada satupun hal yang benar disini sejak awal. Ingin rasanya aku menyalahkan semua orang. Mereka semua yang tidak mengerti perasaanku. Ingin rasanya menyalahkan keadaan. Ingin rasanya meyalahkan takdir. Bahkan ingin rasanya menyalahkan ibu yang melahirkanku. Kenapa dia harus membawaku ke dunia yang penuh rasa sakit ini? Aku benci semua orang.
Alaram pada ponsel di tanganku berbunyi. Aku bangkit dari posisi berbaring, membersihkan sisa-sisa abu rokok di sekujur tubuhku. Pada seragam kerja yang masih melekat di tubuhku. Yang mungkin tidak akan berguna dan lebih baik kubuang saja. Dalam semalam, rumahku sudah kembali seperti keadaan semula. Kacau dan berantakan seperti yang seharusnya. Setidaknya kekacauan ini membuat ruangan hampa ini terasa ramai. Terlintas satu hal di benakku, kemudian aku memantapkan diri. Orang-orang yang sempat kupikir bisa kupercaya, aku tidak butuh mereka.
•••
Aku memasuki kelas ketika sekolah sudah mulai ramai. Wajah-wajah familiar di kelas ini tidak pernah benar-benar terasa familiar. Mereka semua memusuhiku. Memunggungi saat harus berpapasan denganku kemudian mengacungkan jari tengah di belakangku.
Wajah mereka semua terlihat buram. Seperti kenangan yang berusaha dihapus paksa, tapi tidak bisa. Semua luka yang mereka torehkan selama aku berada di sekolah ini seolah terekam jelas di kepalaku. Terasa masih segar seperti baru terjadi kemarin.
Beberapa orang yang bertemu pandang denganku langsung meluruhkan senyum mereka. Membuatku sadar diri untuk tetap menunduk selamanya karena sadar eksistensiku hanya mencemari udara mereka. Aku mendudukkan diri di mejaku dalam diam. Tenggelam dalam kericuhan kelas. Bertingkah seperti aku tidak ada.
Meja di depanku serta kursi di sebelahku bergeming kosong. Tidak ada Stella ataupun Azka. Aku sendirian. Kenapa aku harus merasa seperti ini? Ini bukan hal baru, Azka dan Stella memang sudah berteman dari dulu. Sejak awal aku memang sendirian. Sejak awal aku yang mengintervensi pertemanan mereka dan menjadi pencemar diantaranya.
Guru sejarah memasuki kelas, membuat kelas yang tadinya berisik mendadak tenang. Guru itu memperhatikan seisi kelas dari depan, ketika pandangannya sampai di mejaku, ia hanya melirikku tak acuh.
Aku tidak bisa melihat apapun di depan. Rasanya gelap dan suram. Aku merasa seperti orang buta yang sedang meraba-raba. Aku merasa seperti sebuah kendaraan yang hilang kendali. Kadang aku merasa seperti ingin bersembunyi dalam lemari selama berminggu-minggu agar tidak ada yang menemukanku. Agar aku tidak perlu menghadapi orang-orang seperti mereka yang tidak menghiraukan keberadaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...