"Fajar!"
"Marun!"
Marun berlari ke arahku begitu matanya menangkapku. Tubuhnya yang terbalut pakaian rumah sakit yang kebesaran terlihat tidak seimbang saat ia berlari, tetapi ia tidak memperdulikannya.
"Marun, jangan lari, nanti jatuh!" Dan benar saja, tepat setelah aku memperingatinya, ia jatuh tersungkur karena kakinya menginjak celana pasiennya yang kepanjangan.
Aku menghampirinya dan membantunya berdiri. Lututnya berdarah dan tangannya kotor oleh tanah. Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis, tapi ia malah menggigit bibirnya dan mengatakan kalau ia tidak apa-apa saat aku menanyakan keadaannya.
Untuk anak perempuan berusia 6 tahun, dia cukup kuat menahan rasa sakit. Aku saja yang sudah berumur 8 tahun masih menangis saat terjatuh dari sepeda.
"Tapi lutut kamu berdarah" ujarku sambil memperhatikan darah yang merembes dari lututnya yang sobek.
"Ini ngga sakit kok. Marun ngga apa-apa" ujarnya mengulum senyum meski air matanya sudah hampir mengalir.
"Aku panggil suster dulu yah, Marun tunggu disini"
Dia mengangguk patuh. Tapi saat aku akan pergi, dia menarik ujung bajuku. "makasih ya udah nolongin Marun. Marun suka Fajar" ujarnya sambil tersenyum lebar. Senyum yang selalu membuatku merasa senang saat melihatnya.
Dan untuk pertama kalinya aku merasakan gejolak aneh di perutku. Ada sesuatu yang membuncah di dadaku dan wajahku rasanya memanas.
"Fajar juga suka Marun"
•••
Aku terbangun dengan pusing yang mendera di kepalaku. Menguap dengan sangat lebar begitu terbangun dan menemukan diriku penuh dengan kotoran di sofa ruang tamu. Sisa-sisa abu masih ada di lantai, tapi sudah tak ada kepulan asap lagi.
Bangkit dari dudukku, aku segera menuju kamar mandi karna sebentar lagi jam sekolahku akan dimulai. Mengambil tas dan memasukkan beberapa buku, aku bergegas pergi.
Saat aku sampai, tenyata kelasku belum dimulai, aku masih punya 15 menit waktu tersisa. Aku kembali menguap dan mengucek mataku yang sedikit berkantung dan bengkak karna terlalu lama tidur. Pikiranku terpusat pada sesuatu. Suatu hal manis tapi terasa begitu singkat. Marun.
Entah kenapa, sejak Mama pergi, aku selalu kembali teringat pada Marun. Itu merupakan suatu hal yang aneh mengingat seharusnya aku merindukan Mama bukannya Marun. Mungkin Mama mustahil akan kembali tapi Marun lebih mustahil lagi.
"Jar, lo dicariin Stella" sebuah suara mengintrupsiku, tanpa basa-basi berbicara dan mendudukkan diri di sampingku, membuatku refleks menoleh.
"Mau ngapain?"
"Mana gue tau" Azka mengangkat bahu.
"Males deh kalau tujuannya gak jelas" putusku sambil menyandarkan punggung di bangku yang ku duduki.
"Padahal Stella udah nungguin lo dari pagi loh" ujarnya lagi.
Saat aku ingin membalas perkatannya, sebuah suara manis yang kelewat kencang menggema di lorong koridor. "Fajar!"
Aku meringis melihatnya berlari dengan begitu bersemangat, tidak memperhatikan kalau tali sepatunya terlepas.
"Awas, nanti jatuh!" Ujarku hampir memekik.
Tetapi sesaat kemudian dia sudah sampai di depanku dengan keadaan selamat tanpa luka sedikitpun meski tali sepatunya tidak lagi terikat dengan benar.
"Kenapa pake lari segala sih, liat tuh tali sepatu lo kebuka" ujarku setengah kesal.
Ia malah nyengir dengan lebarnya membuatku ingin menyumpalkan sepatu bututku yang belum di cuci selama 3 bulan ke dalam mulutnya.
"Abisnya lo dicariin dari tadi gak ketemu" gerutunya sambil berjongkok memperbaiki ikatan pada sepatu merahnya.
"Mau ngapain sih nyariin gue?" Tanyaku masih dengan perasaan kesal.
Ia bangkit berdiri kemudian menengadahkan telapak tangannya dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya serta mata yang berbinar menatapku. "Mau nangih hutang"
Seketika suara tawa membahana yang menurutku sedikit berlebihan menggema di sepanjang koridor. Itu si sialan Azka.
"Diem lu!" Aku menyikut perutnya. "Emang kapan gue ngutang sama lo?" Tanyaku pura-pura tidak tau.
Stella menurunkan tangannya dan wajahnya yang tadi berbinar dengan senyum lebar berubah drastis menjadi datar menakutkan. "Sebulan yang lalu" tekannya.
"Gue gak merasa ngutang tuh" jawabku kikuk.
"Bayar utang lo kunyuk, ngeles aja sih kayak bajaj" Azka menoyor kepalaku. Aku memelototinya. Sialan.
"La, gue lagi bokek nih, jangan sekarang dong"
Wajahnya berubah menjadi cemberut. "Lo mah kalo ditagih jawabannya itu mulu." Gerutunya. Kemudian wajahnya berubah menjadi sedih membuat siapapun iba melihatnya. "Padahal gue mau beli album terbaru BTS"
Azka memutar bola mata sedangkan aku kini dipenuhi rasa bersalah. "BTS mulu yang dipikirin. Gue kira mau beli apa gitu yang lebih berguna"
"Album BTS itu berguna tau!" protesnya.
Azka balas menjulurkan lidahnya.
Aku beralih pada Stella. "Entar deh gue balikin. Gue beneran gak ada duit sekarang"
Stella memandang kosong ke lantai, seolah-olah harapan terakhirnya sudah pergi melayang. Aku benci tatapan seperti itu.
Tatapan putus asa.
"Stella," aku menarik tangannya pelan, menyadarkannya dari pikiran kosongnya. "Entar gue beliin deh"
Dalam sekejap senyumnya kembali mengembang seperti tanpa beban. "Serius?"
Aku mengangguk yakin.
"Tapi..."
Mataku tanpa sengaja melirik ke jam besar yang tergantung di depan lobi. "Yah, kelas gue udah mulai!" Aku menepuk jidat setelah menyadari jarum panjang di jam tersebut sudah melewati angka dua belas.
Mereka berdua terbelalak. "Gue duluan yah!" Setelah mengatakan itu aku berlari sekencang mungkin menuju kelasku.
Sial.
•••
You were the shadow to my light, did you feel us? Another star, you fade away.
.
.
.To be continue

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...