"Bisa gak lo nemenin gue disini sedikit lebih lama lagi?"
Suara mesin bus yang menderu perlahan menjauh, menyisakan angin yang bermain-main disekitarku dan juga sosok Marun di hadapanku yang sepertinya juga sedang bermain-main dengan perasaanku.
"Kenapa? Lo sakit?" tanyanya khawatir.
Perlahan kulepaskan pergelangan tangannya dengan enggan dan mengangguk, meneguk ludahku sendiri dengan susah payah. "Gue lagi gak pengen sendiri,"
Tatapan kami terkunci. Entah dia menyadari atau tidak sakit yang kumaksud berbeda dengan yang ditanyakannya. Bukan sakit seperti luka fisik. Tapi sakit yang lain.
Marun memandangku sejenak sebelum kembali beranjak duduk di sampingku. Kali ini lebih dekat, tidak sejauh saat kami berada di rooftop kemarin. Ada perasaan lega yang menyambutku ketika dia melakukan itu karena dia tidak lagi terasa seperti sedang menjaga jarak ataupun takut padaku. Dan kini mataku tidak bisa berhenti mengikuti kemana dia bergerak.
"Jar, are you okay?" tanyanya hati-hati sambil tetap menatapku.
Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam. Ditanyai pertanyaan seperti itu membuatku serasa ingin meledakkan semuanya, tapi masih berusaha keras untuk menahan diri. Aku membuka mata dan mengangguk. "Gue gak papa selama gue gak sendiri," balasku padanya, secara tersirat menyampaikan ketakutanku.
Aku tidak ingin sendiri. Aku takut ditinggalkan sendirian lagi. Aku tidak ingin sendirian di dunia ini.
Suara orang-orang yang terdengar ramai mendekat. Itu adalah rombongan berbaju hitam yang habis memakamkan tadi. Aku membuang muka sebisa mungkin menghindari pandanganku dari mereka, sibuk menatap apa saja yang ada di sekitar kakiku. Tapi percuma karena suara-suara itu tetap membuatku bisa merasakan kehadiran mereka.
Setelah semua orang itu akhirnya naik ke mobil dan pergi dari sana, aku memberanikan diri mengangkat kepala. Marun sedang memperhatikanku dengan tatapan yang entah kenapa justru membuatku semakin merasa sedih.
"Kenapa gak kesini bareng nyokap biar lo gak sendirian?" ucapnya.
Aku menggeleng pelan. "Gue sendirian,"
Marun terlihat terkejut, ada ekspresi menyesal di wajahnya. "Nyokap lo juga udah..." ucapnya menggantung.
Aku menggeleng lagi agar dia tak salah paham. "Masih hidup,"
"Terus kenapa gak tinggal sama nyokap?"
Aku menunduk dan meremas tanganku sendiri. "Gue gak mau ninggalin Papa." jawabku pelan.
Aku tidak tau mengapa aku menceritakan ini padanya. Sedari awal pun aku tak seharusnya membawanya ke makam Papa. Aku tidak tau apa yang sedang aku lakukan sekarang, bersama seseorang yang terasa sangat asing tapi anehnya begitu menyita perhatianku sejak hari dimana aku mengetahui namanya secara tidak sengaja di ruang musik. Orang yang sama yang membuatku mengingat kembali hal-hal yang tidak ingin aku ingat. Yang aku tau, aku hanya sedang tidak ingin sendiri sekarang.
"Lo kangen bokap?" tanyanya hati-hati.
Aku mendesah kecil dan memejamkan mata mendengar pertanyaannya. "Tolong jangan tanya itu," lirihku dengan suara parau yang terdengar begitu menyedihkan.
Marun tidak bersuara lagi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali menoleh ke arahku. "Gue boleh cerita gak?" aku meliriknya. "Tapi janji ya lo jangan menghakimi gue?"
Aku membalasnya dengan anggukan kecil. Apapun asal pikiranku teralihkan. Apapun asal yang dibahas bukan aku.
"Gue benci orang tua gue," ujarnya dengan tenang. Terdengar begitu ringan untuk diucapkan, tapi aku tahu ada usaha keras dibaliknya agar ia bisa terlihat seceria itu saat mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...