Mixed Feelings

54 16 18
                                    

Fajar POV

Stella tidak masuk sekolah keesokan harinya. Dan tanpa perlu ditanya aku sudah lebih dari gelisah karena hal ini. Sepanjang hari yang kulakukan hanyalah terus bersembunyi di balik hoodie hitam milikku tiap kali Azka bertanya tentang Stella ataupun membahas Stella. Aku sama sekali tidak kedinginan, aku ketakutan.

"Ck, kemana sih tuh anak, telponnya gak aktif,"

"Sehari absen gak apa kali Ka," jawabku berpura-pura tenang.

"Iya emang gak papa, tapi kenapa telponnya gak aktif? Kalo sakit kenapa gak ada surat?"

"Kayak baru pertama kali aja Stella gak masuk sekolah,"

"Ya, emang baru pertama kali 'kan dia begini?" Azka balik bertanya padaku yang kemudian tidak mampu kujawab. Benar, yang paling sering bolos diantara kami bertiga adalah aku.

Sepanjang pelajaran berlangsung, aku takut. Pikiranku tidak pernah bertahan di kelas ini lebih dari 10 detik, selalu saja melayang pada kejadian semalam dimana aku menemukan Stella menangis di kamarnya. Ketakutan ini semakin memburuk karena disertai rasa bersalah. Memikirkan dari mana Daniel bisa mendapatkan semua informasi pribadi Stella sampai mengiriminya ancaman seperti itu.

Aku tidak tau Stella dimana, apa yang sedang dia lakukan, yang aku tahu dia sendirian di rumahnya karena orang tuanya sedang pergi dinas ke luar kota. Dan aku sama sekali tidak tau itu hal yang baik atau buruk.

"Gue mau ke rumah Stella," Azka bangkit dari duduknya ketika bel pulang selesai berbunyi, yang bahkan tidak aku sadari kalau bukan karena gerakannya yang tiba-tiba.

"Biarin aja Stella sendiri dulu Ka, mungkin dia lagi gak pengen diganggu," aku ikut berdiri menahan Azka.

"Alasannya?"

"Ya cuma Stella yang tau, mungkin ada sesuatu dan dia lagi gak pengen ngomong sama orang,"

"Lo tau sesuatu?"

"Enggak," cepat-cepat aku menjawab ketika tatapan Azka berubah menjadi curiga.

Azka tetap beranjak dari posisinya. "Gue mau ngecek doang,"

"Biar gue aja yang ngecek," tahanku.

Dahi Azka semakin mengerut. "Emangnya lo gak kerja?"

"Nanti pulang kerja gue mampir," ini adalah usaha terakhirku untuk menahan Azka supaya dia tetap tidak tau apa-apa.

Benar, Stella dalam masalah gara-gara aku dan satu-satunya hal yang kulakukan untuk mengatasinya adalah menyembunyikannya dari Azka. Aku merasa seperti pecundang yang tidak bertanggung jawab saat ini tapi memberi tahu Azka juga tidak menyelesaikan apapun. Sudah kuputuskan aku akan membereskannya sendiri seperti masalah-masalahku yang lain.

"Oke," Aku sempat takut Azka akan bersikeras menemui Stella mengingat dia cukup keras kepala dan protektif terhadap teman-temannya. Untungnya setelah puas memandangiku dengan tatapan menyelidik, akhinya ia menyerah.

Aku pergi duluan meninggalkan Azka di kelas. Aku sama sekali tidak berniat menjenguk Stella sepulang dari tempat kerja. Persetan dengan paruh waktu, aku akan mengecek keadaannya sekarang.

Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak punya kekuatan untuk melawan Daniel dan aku tidak tau akan seperti apa reaksi Azka jika dia mengetahui Stella menjadi sasaran Daniel gara-gara aku tidak menghiraukan ancaman cecunguk keparat itu.

Aku kembali mengeratkan tudung jaketku, menutupi wajahku sebisa mungkin dari dunia. Semua orang di sekolah, di jalanan, atau di manapun, segalanya terasa menakutkan tiap kali mereka melihat ke arahku. Aku merasa mereka semua seperti bisa melihat ketakutan dan kesalahanku. Perasaan semacam dihakimi dan ditelanjangi setiap kali bertemu pandang dengan orang-orang di jalanan.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang