Defendant

91 27 95
                                    

Fajar POV

"Kejadian setahun lalu, bukan lo kan, pelakunya?"

Kutatap kedua manik matanya yang bergetar saat melontarkan pertanyaan itu padaku. Beberapa ekspresi bercampur disana, cemas, takut, penasaran dan berharap.

"Menurut lo?"

Marun menggeleng. "Gue pengen tau jawabannya dari mulut lo sendiri,"

Kuperhatikan sekali lagi kedua matanya yang menungguku menjawab dengan gugup. Aku tahu dia pasti takut padaku. Pandangan itu menjelaskan semuanya. Pandangan yang aku kira Marun takkan memandangku dengan tatapan seperti itu. Pandangan yang agaknya membuat sesuatu di dadaku terasa sakit. Entah alasan apa yang membuatnya tidak berhenti mendekatiku meski dia takut padaku.

"Gue cabut,"

Sebelum aku sempat membalikkan badan sepenuhnya, sebuah tangan hangat menahan pergelangan tanganku. "Lo belum jawab pertanyaan gue,"

Genggaman tangannya di lenganku mengerat. Pandanganku beralih ke tangannya kemudian matanya. Sebenarnya apa yang dia harapkan dari seseorang sepertiku? Dia berharap aku akan menjawab apa? Kenapa dia harus membuatku berharap akan ada yang berpihak padaku? Sedangkan harapan hanya akan membuat manusia lemah.

"Hari udah mulai gelap, lo gak takut kejadian yang sama kayak setahun lalu terjadi sama lo?"

"Jawab pertanyaan gue," ujarnya bersikukuh.

"Gue tersangka utamanya dan kita cuma berdua disini,"

"Jawab pertanyaan gue!" desaknya.

Aku menunduk dan menghela napas. Gadis ini, benar benar. Aku mendongak dan menatapnya. "Kalo gue jawab bukan, apa lo bakal percaya?"

"Jadi bukan lo?" dia malah balik bertanya.

Aku memperhatikan matanya yang menatapku dengan sungguh-sungguh. Entah apa yang ada dipikiran anak ini. Entah apa yang dicarinya dariku. Menghela napas, aku akhirnya menyerah pada kekeraskepalaannya. Aku memberikan gelengan sebagai jawaban.

Genggaman tangan Marun di lenganku melonggar hingga akhirnya terlepas. Raut lega di wajahnya membuatku kembali bertanya-tanya.

"Gue percaya," ujarnya.

"Kenapa?" tanyaku penasaran. "Kenapa lo percaya sama gue?"

"Karna terakhir kali gue gak percaya sama lo, lo melakukan segalanya untuk ngebuktiin kalo lagu itu memang punya lo. Sampai akhirnya gue mematahkan hati lo di atas panggung dan gue menyesal,"

Aku memandangnya tidak percaya. Dia bercanda? Dia percaya padaku? Semudah itu? "Ketika guru, kepala sekolah, bahkan polisi gak percaya sama gue, tapi lo percaya sama gue? Kenapa?"

"Lo nangis di backstage--"

"Cuma karna liat gue nangis?" potongku.

"Cuma karna liat lo nangis?" ia mengulangi perkataanku dengan tidak percaya. "Emangnya apa arti air mata buat lo, Jar? Bukannya karna penampilan itu menghancurkan hati lo makanya lo nangis?"

Pertanyaannya membuatku mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Apa lo bakal sampe nangis kalo lo cuma bohong soal lagu itu?"

"Omongan lo yang muter-muter gak menjawab pertanyaan gue," ujarku akhirnya.

Marun menghela napas. "Intinya gue percaya sama lo. Gue gak tau kenapa, tapi gue percaya," ujarnya yakin.

Ucapannya membuatku mundur satu langkah ke bekakang. "Siapa lo sebenarnya?"

Melihatku bersikap waspada, Marun mengerutkan dahi. "Hah, maksudnya?"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang