Fajar POV
Aku baru saja kembali dari apotik dekat rumahku dan berniat melanjutkan sebuah lagu yang sudah lama tak tersentuh mengingat pikiranku selalu kacau akhir-akhir ini. Merasa jauh lebih tenang setelah bertemu dengan Marsha kemarin. Terlalu malas membuka hoodie yang kugunakan untuk menutup lukaku saat keluar tadi, aku langsung duduk begitu saja di meja belajar dan tenggelam dalam kegiatanku, sampai getaran dari ponselku menginterupsi. Aku mengecek sejenak dan membuka pesan yang masuk.
Marun
Kenapa gak masuk sekolah hari ini?
Kupandangi pesan itu tanpa berniat untuk membalas sama sekali. Karena aku tidak ingin, jawabku dalam hati kemudian kembali meletakkan ponselku begitu saja di atas meja. Melanjutkan lagu kesukaan Marsha yang sayangnya belum aku selesaikan sepenuhnya.
Hujan turun mengguyur sepanjang sore. Tidak terlalu deras tapi cukup untuk membuat langit menggelap lebih cepat dari yang seharusnya. Aku mengeratkan hoodie yang kupakai, terlalu malas untuk menutup jendela kamarku yang terbuka dan berisik dihantam angin. Terlalu malas juga untuk menghidupkan lampu. Aku hampir selesai saat aku menyadari aku kehabisan tape kosong untuk merekam.
Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 18:20, kemudian beralih pada jendela kamar. Gerimis hampir reda, aku rasa aku akan pergi membelinya sebentar lagi.
Setelah menutup jendela dan menghidupkan lampu, aku meraih ponselku dan pergi menuju toko musik di persimpangan kota. Tentu saja berjalan kaki seperti biasanya. Jalanan sepi karena baru saja hujan dan ini masih maghrib, membuatku semakin senang berada di luar. Tidak ada orang, tidak ada yang memperhatikan.
Aku memasukkan kedua tangan ke saku hoodie, menikmati udara dingin dan aroma tanah sehabis hujan. Lampu-lampu jalan berkilauan memantul dari genangan air di aspal. Sesuka-sukanya aku berjalan kaki, aku lebih suka lagi berjalan kaki di malam hari. Saat gelap datang dan tidak ada orang seperti ini, aku merasa dalam 24 jam hanya di waktu inilah aku bisa bernapas dengan lega. Entahlah, kesendirian dan keheningan yang membuatku nyaman. Tanpa harus terusik oleh keberadaan orang lain.
Aku menghindar saat pengguna motor terlihat mengebut dari depan, tidak ingin terkena percikan dari genangan air. Berbelok di perempatan dan tersenyum melihat toko yang kutuju ada di depan mata. Suasana hatiku hari ini terlalu bagus lebih dari yang biasanya.
Suara dentingan bel di atas pintu kaca berbingkai kayu menyambutku begitu aku melangkah masuk. Malam ini ternyata cukup ramai, terhitung ada 3 pengunjung termasuk aku sendiri. Well, itu sudah cukup ramai karena biasanya tiap aku berkunjung kesini hanya ada aku sendiri.
Aku bertanya perihal tape kosong pada pemilik toko dan dibalas tunggu olehnya. Selagi menunggunya mengambil stok ke belakang, aku melihat-lihat album ke sekeliling. Ketika aku berhenti di rak Jazz dan RnB, sebuah suara yang sedang tidak ingin kudengar hari ini menyerukan namaku.
"Fajar,"
Aku menoleh hanya untuk mendapati Marun berdiri tidak jauh dariku, pemandangan yang menyebalkan omong-omong. Seperti yang selalu kulakukan sebelum-sebelumnya, aku bergegas menghindar dan pergi dari sana seperti pengecut ketika mengingat ancaman Daniel tempo hari. Demi Tuhan aku tidak ingin babak belur lagi. Kepalaku bahkan masih terlalu sakit untuk dibenturkan kembali oleh si psikopat Daniel.
Salahkan kakiku yang terlalu lemah ini, gadis bernama Marun itu berhasil menangkapku dan menarik tudung jaketku hingga terlepas, menunjukkan pelipisku yang bonyok pada dunia.
Ia tersentak. "Kepala lo kenapa?" Aku memandang wajah kagetnya dengan malas. Sampai kapan sih aku harus berurusan dengan makhluk kecil menyebalkan ini. Dia persis seperti kutu, susah diusir dan sangat mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Dla nastolatkówKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...