~•°Marun°•~
Setelah berlarian kesana kemari akhirnya aku menemukan orang itu juga. Aku melepaskan tumpuan tanganku pada lututku dan berdiri tegak. Menyeka keringat di dahiku dan menghampiri seorang cowok yang sedang melamun entah memikirkan apa, masih dengan napas yang tersenggal.
Dia menoleh ketika namanya kupanggil dan tatapan kosongnya langsung berubah menjadi tatapan super dingin yang menusuk.
Dan setelah segala usaha yang terlalu rumit untuk diceritakan, dia akhirnya mau juga duduk di hadapanku di dalam ruang musik ini, sekarang.
Aku mengamatinya lagi. Napasnya naik turun dengan tenang, tapi rahangnya masih mengeras. Ya, memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan dengan seorang pendiam macam Fajar selain mengamatinya, kan? Diajak ngobrol boro-boro nyahut. Paling juga dijudesin lagi.
Aku meraih gitarku dan mulai memetik perlahan. Fajar melirik piano di depannya. Ada rasa enggan di sana, membuatku merasa anak ini perlu sesuatu. Seperti suntikan semangat misalnya.
Sebuah ide tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Entahlah aku bukan seseorang yang implusif dan suka melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa rencana, tetapi melihat Fajar yang seperti itu rasanya hal yang akan kulakukan ini benar. Lagi pula dia bukan orang biasa yang bisa dipengaruhi dengan cara yang biasa juga. Percayalah, aku sudah mencobanya beberapa hari belakangan ini hanya untuk mendapatkan semprotan kemarahan darinya lagi.
Petikan gitarku berubah menjadi sebuah genjrengan. Menarik atensinya ketika suara yang dia dengar bukanlah lagu yang akan kami latih sesuai dengan perjanjian. Aku tersenyum singkat mendapatinya melirikku, walaupun hanya lirikan sinis dengan wajah keras kepalanya. Susah sekali untuk meluluhkan patung es di depanku ini.
Dia masih diam mengamatiku dengan lirikan sinisnya, membuatku merasa diizinkan untuk bermain lebih lama. Tapi sepertinya dugaanku salah, Fajar malah mendorong kursinya dan bangkit berdiri membuatku berhenti bermain dan kelabakan menghalanginya sampai hampir menjatuhkan gitar dipangkuanku."Eh, eh, mau kemana?"
"Udah selesai pamernya?" ketusnya.
"Oke, oke, gue bakal serius sekarang" bujukku.
Fajar kembali duduk, matanya menatap tak suka kepadaku. Tapi aku bukanlah seseorang yang akan menyerah hanya karena aura intimidasi penuh penghakiman dari orang lain. Aku cukup tidak tau malu untuk ambisiku jika kau ingin tahu.
"Ngapain sih mainin Smells like Teen Spirit? Mau pamer?"
Aku mengedikkan bahu. "Biar lo semangat aja"
Fajar memicingkan mata. "Lo tau kan kalo kalimat itu sebenarnya hinaan dan cuma merk deodorant?"
Aku membulatkan mata mendengar penuturannya. "Lo ternyata ngikutin teorinya Nirvana juga?" Fajar membuang muka. Aku merapatkan diri padanya. "lo suka Nirvana?"
"Apa semua orang yang tau Smells like Teen Spirit artinya dia suka Nirvana?"
Aku tersenyum menanggapi kesinisannya. "ya enggak sih, tapi lo tau Teen Spirit itu merk deodorant jadi ya gue kira lo ngikutin"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Fiksi RemajaKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...