Became a Man

181 54 49
                                    

"There was a time when i was alone. Nowhere to go and no place to call home. My only friend was the man in the moon, and even sometimes he would go away too"

Aku tersenyum mendengar Marsha bernyanyi sambil tetap menekan tuts di depanku. Entah kebetulan atau apa, ia juga suka mendengarku bermain piano, sama seperti Marun. Lagu yang sedang dinyayikannya sekarang adalah lagu buatanku. Setiap kali aku membuat lagu, aku selalu memintanya untuk menyanyikannya. Suaranya indah seperti nyanyian dari surga.

"Then one night as I closed my eyes, I saw a shadow flying high. He came to me with the sweetest smile, told me he wanted to talk for a while"

Aku terus menekan tuts-tuts piano dengan riang. Sangat menyukai lantunan suara Marsha.

"He said, "Peter Pan. That's what they call me. I promise that you'll never be lonely." And ever since that day..."

Aku berhenti memainkan piano. Ya, lagu itu memang hanya sampai disitu. Itu adalah lagu yang belum utuh. Tetapi Marsha sudah sangat menyukainya saat pertama kali mendengarnya meski lagu itu belum sempurna. Dia selalu menyuruhku memainkan lagu itu.

Sedetik kemudian kedua tanganku ditarik olehnya menuju sofa. Ia menyuruhku berbaring di pangkuannya dan mengelus rambutku.

"Tidurlah, kamu pasti lelah kan?" Ia tersenyum hangat.

Tidur adalah salah satu hal yang paling aku sukai di dunia ini. Saat dimana aku bisa melarikan diri dan mengabaikan caci maki orang yang menusuk hati dan menyengat sampai ke tulang. Melupakan realita yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Tapi saat bersama Marsha aku tak ingin tidur. Aku ingin tetap terjaga dan selalu mengamatinya. Aku ingin menikmati setip momen yang kuhabiskan bersamanya.

"Aku jarang ke sini, tapi kalau aku ke sini kamu selalu aja nyuruh aku tidur. Padahal kita punya banyak hal yang bisa kita lakukan selain tidur,"

Dia menggeleng, "kamu bahkan gak berhenti main piano dari tadi pagi dan ini udah sore. Dan ini salahku karna gak mengijinkanmu berhenti"

"Tapi aku belum lelah"

"Tapi matamu memerah dan punggungmu gak bisa tegak dengan sempurna"

Aku menghela napas membuatnya tertawa kecil. Ia tau aku akan menyerah karna aku tak bisa menolak apapun yang diinginkan Marsha. Saat aku mulai memejamkan mata, rasanya selimut hangat membalut tubuhku. Kemudian suara merdu Marsha kembali terdengar menyanyikan lagu yang kami mainkan tadi.

Alunan suaranya membuatku mengantuk. Nyanyian dari surga itu adalah suara terbaik yang pernah ku dengar. Dan sesaat kemudian aku telah tenggelam dalam alam mimpi.

•••


Aku terbangun di atas sofa dengan selimut yang tersingkap jatuh sampai ke lantai. Entah sudah berapa lama aku tertidur di sofa.

"Fajar! Bangun atau gue ledakin rumah lo?!" Seseorang berteriak dari pintu, suaranya memekik kencang mengalahkan suara pekikan kuda.

Aku bergegas bangkit dan membuka pintu dengan kesal, sudah hapal ini suara siapa. "Apa sih?!" Bentakku.

"Goblok, lo bahkan baru bangun?!" Jeritnya tak percaya.

Azka langsung menerobos masuk ke dalam rumahku dan menutup pintu. "Anjrit, gue di kejar-kejar geng sialannya si Daniel lagi" ujarnya sambil membanting tubuhnya di atas sofa yang tadi kutiduri.

Aku menguap dengan sangat lebar. "Terus?"

"Terus, terus, napas lo bau bangke! Mandi sana" dia melempar bantal yang ada di sofa dan aku langsung menangkapnya dengan sigap.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang