Sober

79 23 8
                                    

Marun POV

Suara detak jam di lorong rumah sakit yang sunyi membuatku merasa terganggu. Aku bukanlah tipe orang yang sadar sekitar apalagi peduli, namun kali ini aku seolah menjadi orang yang berbeda.

Sudah beberapa jam berlalu sejak aku kembali dari rumah Fajar dan mengambil barang-barangnya. Azka juga sudah disini duduk di samping Stella dan ibunya Fajar saat ini sedang berada di dalam.

Kutatap pintu ruang ICU dengan pandangan kosong. Percakapan antara ibu dan anak laki-lakinya tadi sekilas sempat kudengar ketika kami semua masih berada di dalam ruangan. Fajar menolak ibunya. Dan hal itu membuatku merasa terganggu.

Menurutmu apa yang akan kau lakukan saat mengetahui anak laki-lakimu ditemukan overdosis narkotika? Marah? Kesal? Sedih? Kecewa? Apa kau akan memeluknya atau justru menghukumnya?

Ternyata yang merasakan kekhawatiran itu bukan hanya aku tapi teman-temannya Fajar juga. Azka melakukan banyak hal hari ini. Saat wanita paruh baya tadi sampai, Azka lah yang menjelaskan dari awal dan memberi pengertian soal kondisi Fajar saat ini. Juga tentang apa yang terjadi di sekolah selama ini.

Sejujurnya pikiranku masih berkecamuk. Tidak tahu mana yang harus kupikirkan lebih dulu disaat aku sendiri masih kesulitan untuk mencerna berbagai hal yang baru saja terjadi.

Tidak lama, wanita yang dipanggil Mama oleh Fajar itu keluar ruangan. Matanya sembab dan wajahnya basah oleh sisa-sisa air mata. Azka berdiri dan menyambutnya, mempersilahkannya duduk di antara aku dan Azka.

Sepanjang mereka bicara, aku hanya diam dan mendengarkan. Aku yang tidak terlalu dekat dengan orang tuaku sendiri membuatku tidak tahu harus bersikap bagaimana pada orang tua lainnya.

Setelah mengakhiri kalimatnya pada Azka, ibunya Fajar menoleh padaku. Meski matanya masih sembab, aku bisa menangkap senyum kecil yang terkesan ramah di bibirnya, membuatku salah tingkah.

"Saya Marun, Tante," ujarku padanya, barangkali ia bertanya-tanya karena tak pernah melihatku.

"Marun?" ia mengulangi perkataanku dengan dahi berkerut. "Bukan Marun yang pernah di rawat di rumah sakit Subroto?"

"Bukan, Tante."

Ibunya Fajar kembali menoleh pada Azka. "Siapanya Fajar?"

Bisikannya yang masih bisa kutangkap itu entah kenapa membuatku semakin merasa gugup. Azka hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

"Nama kamu beneran Marun?"

"Iya, Tante." jawabku seperti robot.

"Nama asli?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Fajar," kalimatnya tertahan. "Gak apa-apa waktu tau nama kamu?"

Aku hanya diam. Kilas balik paksaanku padanya dulu kembali dalam ingatan. Serta tulisan-tulisan di dinding kamarnya. Tante menoleh pada Azka, menanyakan hal yang sama. Namun kali ini Azka juga tidak mampu menjawab.

sadar ada sesuatu tentang Fajar dan namaku, akhirnya aku memberanikan diri bertanya. "Memangnya Marun itu siapa Tante?"

Sebelum menjawab, Tante menghela napas. "Seseorang yang penting buat Fajar,"

Tak lama setelah itu suara ribut-ribut kembali terdengar dari dalam ruang ICU. Kami semua berdiri dari tempat duduk di ruang tunggu, ingin tau apa yang sedang terjadi di dalam sana. Hal selanjutnya yang aku lihat adalah Fajar mengamuk seperti orang kesakitan. Tangannya di ikat ke ranjang. Ia muntah, menangis, lalu muntah lagi.

Aku hanya bisa menyaksikan dari luar. Tidak satupun diantara kami yang diperbolehkan masuk kecuali ibunya. Fajar bahkan menolak ibunya sendiri seperti seseorang yang tidak sadar. Satu-satunya hal yang kutahu Fajar sedang dalam tahap detox, entah, aku tidak terlalu mengerti. Yang jelas ia akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya karena harus berhenti mengkonsumsi narkotika yang biasa digunakannya.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang