As We Bleed

60 16 21
                                    

Fajar POV

Mengeluari gedung dengan tergesa-gesa, aku bergegas menyusul Stella. Belum sampai di komplek perumahaan yang dia huni, aku sudah melihatnya menangis sendirian di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang komplek. Benar kan dugaanku.

"La, lo kenapa?" Begitu sampai di hadapannya, bukannya menjawab dia malah berbalik badan sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Pikiranku makin menjelajah kemana-mana saja. "Kenapa ditutupin? Dipukul orang?"

"Jangan liat gue nangis,"

Untuk beberapa saat aku hanya berdiam diri di sisi jalan memperhatikan bahunya yang naik turun, menyaksikannya terisak. Tanganku terulur menyentuh kepalanya, menepuk pelan. Bukannya makin tenang dia malah makin merengek.

"Fajaarr," panggilnya mengadu.

"Iyaa," jawabku sabar.

"Gue dichat orang gak dikenal, isinya aneh banget,"

Aku mengerutkan dahi. "Apa isi chatnya?"

Stella menghapus sisa-sisa air matanya sebelum menyerahkan ponselnya padaku. Aku menerimanya dan mulai membaca, Stella ikut melihat isi ponselnya di sampingku.

Dari nomor tidak dikenal, berisi pesan ancaman akan membeberkan salah satu rahasia Stella. Aku sendiri tidak terlalu yakin rahasia mana yang orang ini maksud, setauku Stella sendiri tidak pernah macam-macam. Aku melirik Stella di sampingku yang matanya masih memerah. Dia sendiri penakut dan cengeng begini.

"Tadinya gue gak peduli, gue juga gak ngerti orang ini ngomong apa. Penipuan kali,"

"Terus kenapa lo nangis?" tanyaku heran.

"Ya gue takut lah, gimana kalo gue beneran punya rahasia yang gue gak inget?"

Untuk yang satu itu aku menelan ludah. Ucapan Stella membuka suatu kemungkinan baru dalam kepalaku. Aku memperhatikannya sejenak, memastikan dia benar-benar tidak mengingat apapun.

"Tadi waktu gue lagi balesin chat orang aneh itu ternyata Mama liat dan Mama ngerebut HP gue. Terus Mama nyoba nelpon orang itu tapi gak diangkat, terus nomor gue diblokir,"

"Terus?"

Mata Stella kembali berkaca-kaca. "Terus Mama malah marahin gue. Kan gue gak tau apa-apa kenapa malah gue sih yang disalahin," akhirnya ia kembali menangis.

Aku mensejajarkan tinggiku dengannya yang sedang menutup wajah. "Mama lo marahin kayak gimana?"

"Mama bilang, kenapa sih gue jadi anak taunya nyusahin. Kenapa gue cuma bikin masalah. Emangnya gue bikin masalah apa coba?" bisa kutangkap nada kemarahan di akhir kalimatnya meski dia mengatakannya sambil menangis.

Akhirnya aku menarik kepalanya mendekat, Stella menghamburkan diri padaku dan menangis di seragamku. Aku tau orang tuanya sibuk dan punya posisi yang cukup penting sampai namanya tidak boleh tercoreng. Kalau dugaanku benar ancaman ini soal masalah pelecehan itu, seharusnya mereka cukup mengerti bahwa ini bukan kesalahan Stella.

Kubiarkan Stella menangis sampai puas. Aku yakin hatinya pasti terluka, bukan karena ancaman aneh yang dia sendiri tidak mengerti, tapi lebih karena perkataan Ibunya. Aku kembali melihat isi percakapan pada ponsel Stella yang masih berada di tanganku kemudian menyalin seluruh pesan dan mengirim nomor orang itu ke nomorku sendiri.

Aku mengusak kepalanya. "Udah gak papa, jangan nangis,"

Stella menarik diri. "Lo jangan bilang soal ini ke Azka, ya?"

"Kenapa?"

"Tadi gue udah telepon dia tapi gak diangkat,"

"Lo marah karna Azka gak ngangkat telepon?"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang