Marun POV
Memasuki pertengahan tahun menuju akhir, musim hujan mulai sering datang. Meski mendung hari ini cukup untuk menutupi sinar matahari namun ada kabar baik yang cukup untuk membuatku merasa lega. Katanya hari ini Fajar sudah bisa keluar dari ICU setelah berada disana selama beberapa hari terkait kondisinya yang mengancam jiwa.
Aku masih ingat hari dimana dia kesulitan bernapas, pertanyaan-pertanyaan seputar jenis narkotika apa yang ia pakai, bagaimana cara ia memakainya, seberapa banyak dosis yang ia gunakan dan berapa lama ia telah menggunakannya. Namun ia akan menuju ruangan baru hari ini. Tahap baru untuk sembuh dari hal-hal menyakitinya.
Aku tidak bisa menahan senyumku sedikit begitu menginjakkan kaki di rumah sakit sepulang dari sekolah. Kubawakan hadiah untuknya, namun kuputuskan untuk menyembunyikannya ketika sampai di ruangannya yang kosong. Suster bilang Fajar sedang berada di taman, jadi aku menyusulnya.
Masih dari kejauhan aku sudah bisa melihatnya sembari memelankan langkah di koridor. Hanya ada dirinya sendiri disana. Tentu, lagi pula siapa yang ingin menikmati suasana taman di keadaan mendung dan hampir hujan. Aku bersandar pada salah satu pilar yang tidak terlalu dekat dengannya, mengamati gerak-geriknya yang lambat, seperti sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Meski Fajar hanya menatap kosong pada entah apa di depannya dan satu-satunya gerakan yang ia lakukan hanyalah berkedip, aku tetap tidak bisa untuk tidak mengembangkan senyuman melihatnya sudah cukup sehat untuk duduk di bangku taman seperti itu. Ia edarkan pandangan ke langit sejenak yang semakin menggelap meski saat ini masih pukul 2 siang.
Perlahan ia bangkit berdiri. Aku masih tidak bergeming dari tempatku saat Fajar mulai berjalan ke tengah taman. Untuk sesaat kukira ia akan kembali ke ruangannya karena melihat gumpalan awan hitam di langit, namun ia tetap berdiri di sana untuk beberapa detik.
Senyumku memudar ketika Fajar mulai tersenyum dengan mata yang memejam. Aku tidak tau apa yang sedang ia bayangkan atau pikirkan, namun tersenyum sendiri di tengah taman seperti itu membuatku merasa sesuatu sedang tidak baik-baik saja.
Bukan pertama kalinya aku melihat gerak-gerik Fajar yang aneh, namun bisa kupahami setelah mengetahui apa yang telah dikonsumsinya. Tapi melihatnya seperti itu serta ingatan tentang jejak-jejak meyakitkan di rumahnya entah kenapa membuatku berpikir ia tidak mau keluar dari dunia buatannya sendiri dan lebih nyaman berada di sana.
Aku mendekat padanya dengan langkah tanpa suara, menatap lelaki yang membuatku ketakutan setengah mati ini saat menemukannya collaps di rumahnya. Saat cowok berbalut pakaian rumah sakit dan jaket hitam kesukaannya itu membuka mata, kusuguhkan senyum hangat padanya seolah segalanya baik-baik saja, seolah dunia saat ini sangat pantas diekspresikan dengan senyum meski faktanya adalah sebaliknya. Sambil berharap ia tidak menemukan sedih di mataku.
Fajar berkedip pelan sambil memandangiku. Sampai saat ini aku menyadari dia sering kali begitu saat melihatku. Seperti sedang memastikan apa yang sedang dilihatnya. Jika tebakanku benar, aku baru saja membangunkannya dari imajinasinya menuju dunia nyata tiap kali ia menatapku begitu. Dan kalau itu memang benar, aku tidak keberatan untuk selalu tersenyum seperti ini untuk menyadarkannya.
Aku masih tetap tersenyum sampai dinginnya air mulai menyentuh kulitku. Gerimis mulai membasahi bumi ketika Fajar masih saja terpaku padaku, bahkan setelah aku mengulurkan tangan padanya.
"Hujan, masuk yuk?"
Aku tau ia mendengarku melihat respon dari raut wajahnya. Diliriknya tangannya sendiri dan mulai menyambutku dengan ragu-ragu. Aku tetap menunggunya dengan sabar sambil menutupi kepalanya dengan satu tanganku yang lain agar tidak terkena gerimis yang semakin lama semakin deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...