Tragedy

150 37 46
                                    

Aku terus berjalan menyusuri trotoar entah kemana. Satu-satunya hal yang aku inginkan adalah pergi dari sini sejauh mungkin. Dan mungkin akan jauh lebih baik kalau aku menghilang saja dari muka bumi ini.

Aku tidak tau mengapa aku menangis. Kenapa aku harus menangis? Apa yang sebenarnya aku tangisi? Perasaan ini benar-benar memuakkan.

Sebenarnya apa maksud dari semua ini. Aku tidak pernah mengerti. Aku dipertemukan dengan Marun, seorang teman masa kecil yang memberikan secercah warna dalam hidupku. Tapi kemudian dia direnggut dariku. Sampai aku hampir gila dengan semuanya. Aku kehilangan masa kecilku. Satu-satunya kenangan baik yang kupunya adalah kenangan bersama Marun. Lalu tiba-tiba datang sesorang yang memiliki nama yang sama dengannya. Dia datang dan memaksaku mengingat segalanya. Dia terus mengingatkanku pada Marun kecilku.

Aku tersandung kecil saat sebuah motor lewat di depanku dengan suara klakson yang nyaring. Kemudian hening kembali menyisakan jalanan yang lengang. Udara sunyi yang membuatku merasa kesedihan semakin menggerogotiku. Aku kembali melangkah, tetapi waktu masih tetap terasa berhenti. Berhenti tepat ketika aku berusia 8 tahun.

Kenapa Marun harus mati? Kenapa satu-satunya teman yang aku miliki di dunia ini harus mati?

Kenapa? Kenapa tak ada satupun orang yang bisa menjawabnya?
Kenapa Marun harus mati?

Takdir?

Omong kosong.

Kakiku terhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna coklat. Nafasku terengah. Aku memandang pintu di depanku nanar. Pintu rumahku.

Tangisku pecah. Ternyata kakiku membawaku ke rumahku sendiri. Ternyata aku memang tak punya tempat lain di dunia ini selain rumahku sendiri. Aku memang tidak punya siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Aku menangis tersedu sampai dadaku terasa sangat sesak.

Kenapa aku begini? Kenapa aku harus begini?

Aku mencoba menenangkan diri dan meredakan isakanku. Aku membuka pintu dan kemudian menguncinya. Aku bersandar pada pintu dan membiarkan tubuhku merosot ke lantai.

Yang kulakukan selanjutnya hanya terus menangis. Aku menangisi hidupku, Marunku, aku menangisi diriku sendiri sampai aku tersedak oleh isakanku sendiri.

Kenapa Marun harus mati? Ayahku, kenapa ayahku harus pergi dengan cara yang paling mengerikan di dunia? Ibuku, kenapa aku harus punya ibu macam dia?

Aku masih tidak mengerti. Aku sama sekali tidak mengerti. Apa yang membuatku pantas mengalami semua ini. Apa yang membuat dadaku terasa sesak selama ini. Aku ini hanya orang buangan. Yang akan dicampakkan setelah dimanfaatkan.

Hidupku hancur gara-gara Daniel. Dan seakan itu semua tidak cukup, dia kembali mengacaukannya dengan mencuri lagu itu. Dia terlalu mengenalku. Apa yang tidak dia ketahui tentangku? Dia tahu segalanya sehingga dia bisa menyiksaku dengan cara paling mengerikan sekalipun.

Dan aku benci pada diriku sendiri yang tidak bisa melakukan apapun.

Sakit sekali. Rasanya hatiku sakit sekali. Ini pertama kalinya aku membiarkan diriku menangis sampai mengerikan seperti ini. Aku selalu menahannya selama ini tapi kali ini rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Semua emosi yang sedang berkecamuk di dalam hatiku memaksaku untuk berteriak dicekik sesak. Mereka semua menggedor-gedor dadaku minta dikeluarkan, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya.

Aku merasa menyedihkan, tidak berguna, aku malu dan benci pada diriku sendiri. Aku merasa seperti pecundang karena sedang menangisi hidupku sendiri.

Aku tidak tau dari mana semua ini bermula, apa yang salah, atau jangan-jangan sejak awal membiarkanku terlahir ke dunia ini adalah kesalahan utamanya. Aku tidak tahu lagi mana yang lebih membuatku sesak, tangisanku atau rasa sakit di dadaku. Rasanya aku ingin mati saja.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang