Home

91 21 18
                                    

Fajar POV

Hari ini tepat hari ke 14 aku berada di rumah sakit. Kadang aku masih suka bermimpi soal Papa atau pun Marun. Tapi tidak pernah soal Marsha. Sosok imajiner yang kuciptakan itu hilang begitu saja dan tidak pernah muncul kembali. Mungkin karena aku sangat-sangat sadar selama dua minggu ini, butuh stimulus yang kuat untuk benar-benar menghadirkannya di hadapanku. Apakah aku merindukannya? Sedikit.

Marsha adalah sosok dimana aku bisa menunjukkan diriku tanpa harus membangun tembok penghalang apapun. Aku mempercayainya, aku mencintainya, karena dia tidak akan pernah bisa menyakitiku. Karna sejak awal dia memang tidak nyata.

Mataku langsung beralih dari ujung tempat tidur menuju pintu ketika mendengar suara decitan engsel yang dibuka. Tiba-tiba sosok itu muncul menawarkan senyum yang begitu menawan, sosok yang berkata bahwa dia nyata dan dia ada disini untukku, bahwa aku tidak membutuhkan Marsha ataupun Marun kecilku lagi karena sudah ada dia disini.

Aku tidak pernah benar-benar berani menatapnya lagi sejak percakapan malam itu. Seiring Marun yang berjalan mendekat, pandanganku kembali pada titik di ujung ranjang. Aku merasa malu dengan apa yang aku lakukan. Ceritaku mungkin terdengar seperti orang aneh yang hobi mengkhyalkan hal-hal tidak masuk akal-

"Jar?"

"H-hm?" suaraku terdengar macet ketika ia menyentak lenganku. Ada terlalu banyak hal yang ia tahu dan aku masih saja tidak terbiasa dengan itu.

"Gimana?"

"Gue mau pulang."

"Udah boleh?"

Aku mengangguk. "Kata Dokternya boleh."

Dokter bilang ada banyak proses yang harus kujalani setelah hampir mati akibat ulahku sendiri. Hal pertama adalah detoksifikasi yang sakitnya bukan main. Aku sudah menjalaninya sejak hari pertama di ICU. Aku harus mengeluarkan kembali semua zat racun yang masuk ke dalam tubuhku.

Yang kedua adalah rehabilitasi. Ada dua pilihan yang bisa aku jalani, rawat inap atau rawat jalan. Aku paling berharap pada yang satu ini meski aku sangat khawatir tidak akan diizinkan. Syarat rawat jalan adalah aku tidak boleh tinggal sendirian atau setidaknya harus ada seseorang yang menjaga atau membantuku. Rawat jalan paling direkomendasikan pada orang-orang yang tinggal bersama keluarganya. Hal ini untuk mencegah penggunaan barang-barang haram itu lagi.

Marun sudah tau aku tidak suka rumah sakit dan hal-hal yang membuatku tidak menyukainya. Yang terburuk adalah ketika semua orang hadir disini, Azka, Stella dan juga Mama. Saat ini juga.

"Kamu ikut Mama ke Yogyakarta ya? Tinggal sama Mama?"

Tanganku mengepal di bawah selimut sembari otakku berpikir bagaimana cara menolaknya. Aku ingin bersama orang-orang yang membuatku merasa nyaman, namun sayangnya Mama bukan salah satunya.

"Fajar pengen tetap di Jakarta aja Ma," ujarku pada akhirnya.

"Tapi kamu disini sama siapa? Yang ngurusin kamu nanti gimana?"

Pandanganku beralih pada beberapa orang lain di dalam ruangan. Mulai dari Marun, Stella dan Azka. Hanya mereka yang aku punya di dunia yang tidak pernah memihakku ini. Aku ingin keinginanku dituruti, sekali ini saja. "Ka, gue boleh kan ngerepotin lo untuk beberapa saat?"

Azka mengangguk tanpa ragu sedikitpun. "Boleh banget."

Mendengar itu akhirnya Mama setuju. Ada lega sekaligus lelah tak berkesudahan yang menderaku setelah mengatakan itu. Rasa sakit di sekujur tubuh yang kualami selama dua minggu ini cukup untuk membuatku waras sekaligus hampir gila kembali. Namun yang kupelajari dari semua ini adalah fakta bahwa, orang-orang tidak pernah benar-benar meninggalkanku.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang