Rotation

70 20 43
                                    

Fajar POV

Aku terbangun begitu merasakan sengatan matahari di kulitku. Membuka mata dan mendapati cahaya kuning memenuhi hampir seluruh penjuru kamar. Mengerjap beberapa kali sembari mengumpulkan kesadaran, aku meraih ponsel di samping kepalaku dan mendapati baru jam delapan lewat lima menit. Masih cukup pagi untukku bangun terutama di akhir pekan.

Terbiasa tidur subuh dan terbangun ketika matahari tepat di atas kepala membuatku bingung harus melakukan apa di jam segini. Akhirnya aku hanya diam dan berbaring telentang memandangi langit-langit kamar. Ah, benar, semalam aku tidur di kamar, pantas saja langit-langit yang kupandangi terasa berbeda. Ada satu, dua, tiga noda pada plafon putih di atasku, jauh lebih sedikit dibandingkan noda di plafon ruang tamu.

Hari ini terasa begitu sunyi dan datar, entah karena aku bangun terlalu pagi, entah karena perasaanku yang hampa. Tidak ada mimpi dari masa lalu, tidak ada halusinasi, tidak ada obat-obatan. Hanya ada kenyataan. Kemudian aku tersenyum bodoh mengingat diriku tadi malam yang terlalu bersemangat hanya karena diberikan sebuah buku catatan oleh seseorang yang memiliki nama yang sama dengan Marunku.

Aku mengubah posisi menghadap ke samping dan meringkuk di atas tempat tidur, memandangi ponsel hitam tanpa notifikasi yang tergeletak di sebelahku. Kemudian pandanganku berpindah pada meja belajar yang penuh dengan kertas-kertas coretan lirik buatanku. Beberapa lembar kertas tergeletak begitu saja di lantai yang dingin, tersingkir begitu saja setelah lelah berdesakan dengan sheet musik yang lain di atas meja.

Kuraih ponselku yang baterainya tinggal setengah dan membuka folder rekaman yang kuberi judul M. Folder itu hanya berisi tiga lagu. Satu lagu kesukaan Marsha yang baru-baru ini kuselesaikan, satu lagu untuk Marun, dan satu lagi lagu yang tidak yakin aku buat untuk siapa. Awalnya jariku ingin memutar kembali lagu yang kubuat untuk Marsha, tapi entah kenapa aku berubah pikiran. Akhirnya aku menekan lagu ketiga, lagu yang tidak yakin kenapa aku menulisnya, lagu yang berjudul Suicide. Setelahnya aku kembali meletakkan ponsel di sampingku, membiarkan rekaman lagu dengan suaraku sendiri dan alat musik seadanya itu mengalun.

Aku menghela napas dan memperhatikan cahaya matahari yang masuk menembus kaca jendela. Tidak menduga bahkan sepi pun mampu membuatku merasa tercekik. Keributan, sorotan, bahkan keheningan, tidak ada satupun yang bisa membuatku merasa aman.

Untuk sesaat merasa senang, kemudian kembali sedih keesokan harinya. Merasa terhibur hanya untuk kembali merasa hampa. Didesak untuk bercerita disaat aku sendiri bahkan tidak tahu aku kenapa. Ingatan-ingatan beberapa bulan belakangan ini kembali muncul. Aku, Azka, Stella dan Marun.

Apa memang benar yang dikatakan Marun, keinginan seseorang untuk mengakhiri hidupnya bukan karena tidak ada yang mencintainya melainkan karena tidak ada yang ia cintai?

Ketika tidak ada lagi hal penting bagiku yang membuatku ingin bertahan, maka tidak akan ada yang bisa menghentikan keinginanku untuk pergi dari sini.

Ini bukan pertama kalinya aku ingin menghilang begitu terbangun dari tidur. Terlebih aku sedang bersih dari bius apapun, jadi pikiran-pikiran liar itu semakin buas saja menggerogoti kepalaku dan hal ini masih tidak pernah sekalipun membuatku terbiasa.

Aku kembali merasa geli mengingat tadi malam aku merasa senang dan kini kembali putus asa di pagi harinya. Secepat itu suasana hatiku berubah dan tanpa alasan yang jelas.

Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur masih membiarkan lagu yang sama kembali terputar dari ponselku. Setidaknya alunan musik itu mampu menutupi sunyi di rumah yang kuhuni sendiri ini. Aku berhenti berjalan saat melihat bayangan diriku yang terpantul dari kaca, memilih mendekat dan memperhatikan wajahku sendiri. Rambut berantakanku yang mulai panjang sudah menutupi hingga ke mata, membuat penampilanku semakin suram saja.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang