Reason to Stay for a While

76 25 19
                                        

Marun POV

Aku mengikuti Danu masuk ke ruangan OSIS untuk mencari sesuatu, apapun itu yang bisa digunakan untuk menghangatkan diri. Penghuninya tidak terlalu ramai, hanya ada tiga orang yang sedang berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali mataku melirik Fajar di luar, memastikan tubuh setengah basah yang terlihat kedinginan itu baik-baik saja.

"Marun," bisikan Danu mengalihkan perhatianku kembali padanya. "Serius, lo tadi ciuman sama Fajar?"

Kalau saja bukan karena takut mengganggu anak OSIS yang ada di ruangan ini, tanganku pasti sudah melayang ke kepala Danu yang berpikirnya dangkal itu. "Ya, enggaklah. Siapa yang ciuman sih." bisikku setengah kesal.

"Terus lo berdua ngapain tadi?" tanyanya kelewat penasaran, sedangkan tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya dengan mata yang sesekali melirikku.

"Ya, nutupin kepala pake jaket biar gak kena hujan. Lo kalo mau suudzon ngotak dikit kenapa sih?" balasku setengah jengkel.

"Ye, mana ada suudzon ngotak, dimana-mana kalo suudzon pasti prasangka buruk lah,"

"Ya, tapi jangan ekstrim banget juga," dengusku.

Danu mendesah lelah, kemudian berbalik dengan jaket di kedua tangannya. "Ini jaket gue, ini jaket OSIS. Jangan sampe ilang dua-duanya."

Aku menerima kedua jaket pemberiannya. "Ngapain lo bawa jaket dua?"

"Lupa ngeluarin satu."

Aku membulatkan bibir. "Oke, thanks ya Dan, besok gue balikin." Aku bergegas pergi dari ruangan OSIS dan menghampiri Fajar yang menunggu di luar.

"Udah?" tanyanya begitu melihatku.

Aku mengangguk, kemudian mengamati kedua jaket di tangannku sebelum akhirnya memutuskan untuk memberikan jaket biasa pada pada Fajar. "Nih pake, gue pinjem dari Danu."

Fajar menatap ragu jaket pemberianku. "Ngapain? Kan udah basah juga."

"Terus lo mau nunggu hujan reda sambil basah-basahan?"

"Udah basah kenapa gak pulang hujan-hujanan aja sekalian?"

Aku mendelik. "Tuh kan, kalimat pesimis lagi. Lo penganut paham Nietzsche atau gimana sih?" keluhku.

Dahi Fajar berkerut dalam. "Siapa itu Nietzsche?"

"Filsuf yang menganggap hidup itu suram." balasku cepat. "Udah sini duduk dulu," aku menariknya menuju bangku panjang di depan salah satu kelas, kemudian menyerahkan jaket yang kupinjam dari Danu padanya. "Nih, pake."

Fajar mengambil jaket di pangkuannya dan menyeka rambutnya yang basah menggunakan itu. Sedangkan aku bingung harus kuapakan jaket OSIS di tanganku ini. Kalau kupakai Fajar pasti melihat lambangnya dan mungkin akan teringat dengan kenangan tidak mengenakkan.

Fajar yang sadar sedang kuperhatikan pun menoleh, kemudian melirik jaket dipangkuanku. "Ngapain ngeliatin gue? Nyuruh gue make jaket lo sendiri gak make."

"Iya ini dipake," ujarku akhirnya.

Begitu selesai memakai jaket OSIS milik Danu yang kebesaran, aku melirik Fajar. Dia balas melirikku tapi tidak mengatakan apapun. Untuk beberapa saat kami hanya saling diam memperhatikan hujan yang masih turun tidak terlalu deras. Gemuruh petir sesekali terdengar mengisi kesunyian.

"Perasaan tadi siang terik banget deh, kenapa tiba-tiba hujan," gumamku, bosan dengan keheningan yang melanda. Alih-alih mendapat balasan dari Fajar, justru suara petir yang menyahuti sampai membuatku terkejut. Merasa dikutuk oleh alam, akhirnya aku memilih untuk diam lagi.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang