Wounded Soul

97 21 19
                                    

Marun POV

Suara Fajar terdengar samar-samar seiring aku mengikuti suster yang menuntunku ke ranjangnya. Lelaki berseragam SMA itu terbaring pasrah dengan rambut yang basah oleh keringat serta alat bantu pernapasan yang terpasang di mulutnya. Matanya terbuka tapi aku tidak yakin apakah ia sepenuhnya sadar atau tidak.

"Marun, Marun..." racaunya tak jelas. Tangannya menggapai-gapai ke udara kosong di sekitarnya membuatku dengan sigap menyambutnya.

"Gue disini," sambutku sembari menggenggam sebelah tangannya dengan kedua tanganku.

Fajar jelas menatapku beberapa detik dengan raut kebingungan. Namun ia tak menolak genggaman tanganku, justru malah meremas balik.

Ruangan ini berisik dengan beberapa alat rumah sakit yang mendeteksi lajunya organ vital dan juga beberapa tenaga medis yang sibuk melakukan hal-hal yang tidak aku mengerti pada Fajar. Lelaki yang sedang menggenggam erat tanganku ini meringkuk dan menjauh dari dokter yang sedang melakukan sesuatu pada tubuhnya, merapatkan diri pada sisi dimana aku berdiri.

Melihatnya meracau kesakitan begitu membuatku menjadi tidak tega. Akhirnya aku membungkuk dan berujar pelan padanya. "Gak apa-apa Jar, biar cepat sembuh,"

Ia mengerjap beberapa kali ketika menatapku, sebulir air mata menuruni pipinya. Kutebak separah itu sakit yang ia rasakan disekujur tubuhnya hingga membuat seorang manusia mampu hilang kendali seperti ini.

Melihat Fajar yang terpaku padaku, suster di sisi ranjang yang lain menarik dagunya dan meminumkan suatu cairan ke mulutnya. Fajar terbatuk karena tak siap. Untuk beberapa saat ia mencoba mengatur napas sebelum akhirnya muntah habis-habisan ke wadah yang sudah disiapkan.

"Sus, ini kenapa?" tanyaku tak bisa untuk tidak panik.

"Gak apa-apa, dia memang harus muntahin semua zat berbahaya yang dia konsumsi,"

Akhirnya Fajar dibuat muntah untuk beberapa jam pertama dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk meringankan penderitannya hanyalah menggosok punggungnya agar ia merasa nyaman. Itupun tidak banyak membantu, aku yakin sekali. Karena nyatanya Fajar tetap mengerang dengan air mata yang mengaliri wajahnya sembari terus-terusan memuntahkan cairan tubuhnya.

Ketika akhirnya ia mulai tenang dan sudah tidak merasakan desakan untuk muntah lagi, Fajar kembali berbaring pada ranjang di belakangnya. Matanya terpejam dengan dada yang naik turun serta bibir setengah terbuka. Ia mengernyit ketika tanganku yang bebas mengusap dahinya.

Ia membuka mata dan menatapku dengan mata sayunya yang berkaca-cara. "Rasanya kayak mau mati," Mungkin itulah yang sedang ia coba sampaikan padaku lewat tatapannya.

Fajar berjengit ketika salah satu suster kembali menyuntikkan sesuatu pada pembuluh darahnya. Aku kembali membungkuk dan membelai dahinya yang tertutupi rambut kemudian menghapus jejak air mata di pipinya. Fajar kembali membuka mata setelah jarum yang disuntikkan sudah ditarik keluar.

Ada yang terasa menyakitkan ketika aku menatap matanya. Aku tidak merasa ingin menangis, hanya saja dadaku terasa sakit. Seperti ada bagian yang terluka tapi tak jelas dimana. Ketika napasnya perlahan mulai teratur dan ia kembali memejam, hatiku kembali terasa sakit. Aku tau dia sedang tertidur mungkin karena efek obat. Dan aksi pura-pura tegarku di hadapannya akhirnya runtuh juga.

Aku semakin mendekatkan wajahku padanya agar bisa menatapnya dari dekat. Cerita Azka tadi masih membekas di telingaku. Hal yang tak pernah mau Fajar utarakan langsung padaku. Atau mungkin tidak bisa karena takut tak akan dipercaya.

Dengan segenggam fakta baru yang kukantongi, aku memberanikan diri untuk lebih mendekat padanya. Kukecup lembut dahinya, berharap ia tahu bahwa aku lebih dari sekedar peduli padanya. Berharap ia merasa damai dalam tidurnya dan hanya memimpikan hal-hal indah setelah hari panjang yang mendera.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang