Atlantis

105 37 53
                                    

~•°Fajar°•~

Seperti deja vu, hujan ini mengingatkanku pada suatu kenangan. Entah apa jelasnya, tapi rasanya ada yang sakit disini.

Sejak sore tadi hujan belum reda dan sekarang sudah hampir pagi. Aku melirik jam di dekat pintu. Detiknya yang konstan membuatku merasa begitu kosong. Jarumnya menunjukkan tepat pukul 4 pagi. Sekarang ini sedang fajar.

Rintik-rintik hujan masih turun tapi itu tidak menggoyahkan keinginanku untuk pergi keluar. Aku melihat sekitarku, tidak ada siapapun disini. Aku mengeratkan jaketku ketika angin berhembus menusuk tulang.

Sebuah bangku taman menarik perhatianku. Disini sepi dan tidak ada orang. Hanya ada lampu taman yang sinarnya mulai redup. Kubersihkan sedikit sisa-sisa air hujan di bangku kemudian mendudukinya.

Aku tak bisa tidur, tidak tau kenapa. Aku ketakukan, entah ketakutan untuk apa. Semua yang kurasakan dan kualami ini rasanya sia-sia saja.

Aku kembali mengeratkan hoddie yang kukenakan.Udara disini memang dingin, tapi sesuatu di dalam hatiku jauh lebih dingin. Rasanya hampa dan kosong. Rasa sepi ini tak asing lagi bagiku tapi tetap saja menyakitkan.

                            •••

¤~*Marun*~¤

Sudah satu jam aku berdiri di depan gerbang Festival Musik diadakan, tetapi manusia batu nan keras kepala itu tak kunjung datang. Hari ini adalah hari pertandingannya dan aku sama sekali tidak ingin terlambat. Kenapa sih Fajar senang sekali membuatku cemas?

Aku menghela napas sebelum kembali mengingat pertengkaran kami semalam.

"Kamu serius mau ikut lomba di festival ini bareng Fajar?" tanya bu Aisyah dengan pandangan skeptis.

"Iya, Bu" jawabku.

"Ibu kira kemaren itu ujung-ujungnya kamu bakal ganti partner. Lagian biasanya kamu selalu nampi sendiri kenapa sekarang duet?"

"Sama Fajar juga gak apa-apa kok, Bu" ujar Pak Malik dengan hangat sebelum aku sempat menjawab.

Tujuanku ke ruang guru sebenarnya untuk menemui Pak Malik, guru kesenian di sekolah kami untuk membahas persiapan untuk besok. Kebetulan Bu Aisyah sedang ada jam kosong dan berada di ruang guru juga.

"Nah, itu dia anaknya" ujar Pak Malik.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Fajar memasuki ruang guru, masih menduduk seperti biasa. Bu Aisyah mundul dan kembali ke meja kerjanya.

"Jadi gimana? Kalian udah latihan yang cukup kan?"

Jawabannya adalah tidak, tapi Fajar malah menjawab iya. Aku langsung meliriknya tetapi dia hanya tetap memandang lurus pada Pak Malik.

"Kemarin-kemarin bapak sibuk dan gak bisa mendampingi kalian latihan. Kebetulan sekarang bapak lagi ada waktu, kalau bapak liat kalian latihan untuk yang terakhir kali gimana?"

Aku tersenyum, baru saja aku membuka mulut ingin mengiyakan, Fajar di sebelahku langsung menyambar dengan cepat. "Maaf Pak, tapi saya ada kelas"

"Nanti bapak permisikan biar gak dibikin absen, siapa gurunya?" tanya Pak Malik ramah.

"Tapi saya presentasi kelompok, Pak" sambar Fajar lagi.

Aku menoleh padanya tidak percaya. Iya, benar, aku tidak percaya Fajar peduli dengan presentasi kelompok. Karena hampir selama seminggu ini tiap kali aku mencarinya ke kelasnya untuk menyeretnya latihan, Azka ataupun Stella selalu mengatakan dia cabut.

Setelah Pak Malik dengan berat hati mempersilahkan kami kembali ke kelas, aku menarik lengannya di depan ruang guru.

"Lo bohong, kan? Lo sebenernya gak ada presentasi kelompok, kan?"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang