Rumor

72 24 136
                                    

"Fajar?" Aku mengangguk. "Fajar yang kemaren duet sama lo itu?" aku kembali mengangguk dengan lebih antusias.

Fira memandangku dengan tatapan aneh. Kemudian mendekat dan berbisik, "Fajar yang jadi tersangka utama insiden tahun lalu?"

Senyumku perlahan memudar. "Iya,"

Fira bergidik. "Ih, gak jadi deh gue suka sama permainan piano tadi. Kok lo mau sih deket-deket sama dia? Gak ngeri?"

Aku berkedip beberapa kali saat melihat tatapan menghakimi dari Fira. "Tadi sebelum tau siapa yang main piano, lo suka kan sama suara permainannya? Terus setelah tau kalo yang main itu Fajar lo jadi gak suka lagi gitu?" tanyaku heran.

Fira menggeleng keras. "Ya enggak lah, yang ada gue ngeri."

"Kenapa?" tanyaku.

"Ya lo tau sendiri lah, dia kan kriminal," suara Fira memelan.

Aku mengerutkan dahi mendengar jawabannya. "Jadi karna dia kriminal, ketika dia ngelakuin sesuatu yang baik atau menghibur dia jadi gak pantes diapresiasi?" balasku.

Fira mengatupkan mulut.

"Kasus itu kan gak ada hubungannya sama permainan pianonya?" sambungku lagi, masih tidak bisa memahami alasannya.

Fira mendesah pelan. "Marun, ini tuh yang disebut hukuman sosial. Ketika lo melakukan hal gak bermoral, bukan cuma pihak berwajib yang bakal menghukum lo tapi masyarakat juga. Itu konsekuensi yang harus dihadapi karna udah jadi kriminal."

Aku kembali mengerutkan dahi. Entah kenapa perkataan Fira membuatku merasa kesal.

"Lagian lo kenapa jadi belaim dia sih?" tanya Fira heran.

Aku memaksakan seulas senyum padanya. "Gak papa, gue duluan," ujarku pelan kemudian langsung pergi tanpa menunggu jawaban darinya.

"Loh? Kok pergi sih?"

Aku tidak menjawab dan mempercepat langkahku menuju kantin. Segelas es teh manis dan sepiring siomay mungkin bisa meredakan kekesalanku. Aku berhenti di depan kantin saat mataku menangkap sosoknya. Ia sedang tertawa dengan Stella di hadapannya sedangkan Azka di sebelah kirinya sedang merangkul bahunya.

Ketika aku mengingat permainan pianonya tadi, bagaimana dia terlihat senang saat bermain dan juga perkataan Fira, hatiku rasanya memanas. Memikirkan apakah setiap hari Fajar harus berhadapan dengan orang-orang seperti Fira dan juga Daniel membuat tanganku semakin mengepal lebih keras.

Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang, mencoba mengusir emosi sesaat yang kurasakan tentang Fajar. Saat aku kembali menatap ke depan, ternyata Fajar sedang menatapku. Sudah tidak ada lagi tawa di bibirnya. Dia hanya diam diantara Stella dan Azka yang sedang berdebat memperebutkan sesuatu.

"Marun? Lo kenapa?"

Sebuah suara mengagetkanku. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku. "Ah, gak papa kok," jawabku refleks.

"Kok kayak lagi kesel gitu?"

Saat aku mendongak untuk melihat si pemilik suara, lagi-lagi wajah polos nan palsu itu menyambutku, Daniel. Kali ini ia hanya sendiri tanpa teman-temannya.

"Gak kesel kok," ujarku dingin sambil buru-buru beranjak pergi.

"Lo abis diapain sama Fajar?" tanyanya dengan nada khawatir.

Seketika kekesalanku yang tadinya mulai mereda kini kembali memuncak. "Fajar gak ngapa-ngapain gue,"

"Jangan deket-deket sama Fajar, Fajar bukan orang baik," ujarnya lagi.

Aku mengerutkan dahi. "Kalo Fajar bukan orang baik terus lo apa?"

Daniel menghela napas, masih berusaha sabar dengan sikapku yang tidak bersahabat. "Apa sih yang lo cari dari Fajar?"

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang