⚠️Warning!
Konten eksplisit. Penggunaan obat-obatan terlarang.•••
Fajar POV
Langkah kakiku yang kuseret-seret melambat begitu sampai di depan rumah. Menciptakan debu yang mengusik hidung di udara, tapi tidak begitu kuhiraukan. Karena sejujurnya tidak ada lagi yang kupedulikan di dunia ini. Lebih tepatnya aku tidak ingin memedulikan apapun lagi.
Ada sebuah ingatan yang mengusik pikiran ketika menatap pintu di depanku. Ingatan tentang Azka yang menghancurkan pintu ini ketika aku kabur begitu saja dari perlombaan. Ingatan tentang dia yang memergokiku melakukan hal yang paling kusukai untuk melarikan diri dari rasa sakit, dulunya.
Kata dulu membuatku menelan rasa pahit di pangkal tenggorokanku. Tapi rasa pahit itu tetap bisa kucecap di ujung lidah. Tidak, tapi di seluruh mulutku. Segala yang terjadi hari ini, kemarin dan di masa lalu masih membuatku merasa tidak karuan hingga detik ini.
Kubuka pintu rumah dengan perlahan sebelum menutupnya kembali, menimbulkan suara berderit yang menyedihkan. Seakan memperjelas kesunyian ruang kosong di dalamnya. Ransel di bahu kiriku merosot turun begitu saja menimbulkan suara dentuman saat bersentuhan dengan lantai yang berdebu.
Aku tidak yakin apakah keheningan saat ini adalah sesuatu yang paling aku butuhkan atau justru paling membuatku muak. Bahkan lantai di depanku mengingatkanku pada perkelahianku dengan Azka hari itu. Ingat bagaimana dia menatapku dengan marah masih terekam jelas di kepalaku seperti kaset rusak. Entah darimana datangnya pikiran ini, yang jelas semua kepeduliannya hari itu terasa seperti omong kosong. Pikiranku menyimpulkan, selama ini aku berpegangan pada tali yang hampir putus.
Menyimpan segalanya sendirian pun ternyata tidak merubah apapun. Nyatanya aku hanya menjadi bom waktu yang setiap hari berusaha keras untuk tidak meledak. Dan ketika aku meledak pun, segalanya masih terasa salah, semakin terasa salah.
Aku mendudukkan diri di lantai--tepat di antara pintu dan sofa yang saling berhadapan--membebaskan kedua kakiku yang mulai lelah menopang berat tubuhku. Lama-lama kedua bahuku juga jadi sakit, seolah-olah semua beban yang setiap hari kubawa kemana-kemana tertarik turun oleh gravitasi.
Akhirnya aku membaringkan diri di lantai menghadap ke sofa. Dari sini bisa kulihat sisa-sisa puntung rokok di kolongnya yang tak terjamah, luput dari perhatianku saat aku membersihkan rumah. Kemudian sebuah pemikiran menyadarkanku, sebesar apapun aku berusaha membersihkan rumah ini untuk menyingkirkan bekas-bekas kesuramanku, akan tetap aja jejak yang tersisa. Sebesar apapun aku berusaha membersihkan namaku, akan tetap ada bayangan besar nan gelap yang terus menjerat langkahku.
Aku menggigit bibir, meski sudah berbaring miring di lantai, berat itu masih terasa di dadaku. Akhirnya aku telentang menghadap langit-langit, mencari posisi apa saja dengan usaha seminimal mungkin untuk membuat diriku merasa lebih baik. Nyatanya aku tetap masih ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi. Dan meski dinginnya lantai menjalar dari ujung kepala sampai ujung kakiku, mataku tetap saja memananas.
Berkali-kali aku berpikir, berkali-kali juga aku hanya bisa menemukan satu solusi yang sama untuk keluar dari lingkaran setan ini, yaitu mati.
Tempat ini begitu memuakkan dan membuatku lelah. Seberapa keras pun aku berusaha untuk menepisnya, aku tetap berharap orang-orang berubah. Jauh di dalam hati aku ingin semuanya menjadi baik-baik saja, berubah seperti trik sulap dalam waktu instan. Aku ingin menjajikan diriku sendiri bahwa semuanya akan berlalu tapi nyatanya segalanya tetap sama. Tidak ada yang berubah dari hidupku sejak dulu.
Semua ini bermula sejak Daniel, ah, bukan. Semua ini bahkan sudah bermula sebelum aku mengenal Daniel. Dia bahkan bukan masalah utamanya. Masalahnya adalah aku selalu hidup di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...