Fajar

133 38 12
                                    

Aku berdiri di balik pagar memperhatikan sosoknya yang ringkih. Mata sayunya yang tercipta karena kurang tidur, pipi tirusnya, rambut berantakan yang menutupi dahinya, kulit tannya yang justru terlihat pucat, semua paduan itu anehnya terlihat sempurna.

Punggung tegap itu jarang terlihat berdiri tegak. Bahu lebar miliknya hampir selalu merosot turun di tiap kesempatan, dan mata sayu itu lebih sering menatap pada tanah.

Fajar namanya. Tapi sayangnya sikapnya tak sehangat namanya.

Ingatanku kembali pada saat kami berpapasan di depan kelas beberapa hari lalu.

"Fajar?"

Dia terlihat kaget saat mendengarku menyebutkan namanya.

"Eh, hai. Lagi ngapain disini?" ujarnya kikuk masih dengan mata yang membulat.

Aku mengusap tengkuk kemudian menunjukkan cengiranku padanya. "gue nyari Pak Malik, katanya sih disuruh temuin disini. Tapi kayaknya gue salah kelas deh"

Ia berkedip beberapa kali, kemudian mengulum senyum dan mengalihkan pandangan ke dalam kelas. Aku hanya sibuk memperhatikannya menunggu kalimat selanjutnya yang akan dia lontarkan. Tetapi rautnya berubah saat pandangannya masih tertuju ke dalam kelas. Aku ikut menoleh pada apa yang sedang dilihatnya. Hanya ada 4 siswa di kelas yang semuanya memperhatikan kami dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan dan Fajar sepertinya tidak nyaman dengan itu.

"ada urusan apa emangnya sama Pak Malik?" suara Fajar mengalihkan fokusku kembali padanya.

Aku tersenyum. "gue mau ikut kelas musik beliau soalnya"

Tiba-tiba saja raut wajah Fajar yang mulai rileks berubah lagi. Kali ini menjadi datar dan dingin, raut yang paling sering kulihat darinya saat tidak sengaja melihatnya di lingkungan sekolah.

Saat aku mengangkat tangan ingin menyadarkannya ia tiba-tiba mundur seperti tidak ingin dekat-dekat denganku. Mendapati sikapnya yang menjadi waspada terhadapku membuatku menurunkan tangan kembali. Memangnya dia kira aku mau apa? Memukulnya?

"Jar?"

"gue cabut dulu ya, gue lupa ada yang harus gue kerjain" ujarnya dingin sembari matanya melirik kemana-kemana, seperti sedang mencari-cari alasan.

Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah pergi begitu saja dengan tergesa-gesa kemudian mulai berlari seolah ingin cepat-cepat pergi jauh dariku. Seperti orang yang kebingungan.

Ingatan itu membuatku mengela napas, kesal. Dan kini jarak kami semakin jauh saja. Aku menghela napas lagi.

Aku kembali mengamati sosoknya dari jauh. Yang membuatku heran, bagaimana bisa orang yang lebih mirip mayat hidup itu masih terlihat bagus dengan keadaan seperti itu?

Aku yakin jika saja ia makan sedikit lebih banyak maka tubuh kurusnya yang terlihat akan terbang jika diterpa angin itu akan terlihat lebih bagus. Dia punya punggung dan bahu yang bagus tapi tidak pernah sekalipun terlihat berdiri tegap dengan bangga memamerkan tubuhnya. Rambutnya yang agak gondrong itu jika saja disisir dan ditata dengan rapi pasti akan sangat mempesona. Mata sayunya memang sempurna, tapi itu akan terlihat lebih sempurna lagi apabila mereka terlihat jernih dan berbinar, bukan memancarkan tatapan tanpa arti seperti itu.

𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang