Marun POV
Udara dingin dari AC langsung menyambutku begitu memasuki ruangan studio. Mengikuti Fajar dari belakang seperti anak kecil, ruangan asing yang baru pertama kali kumasuki ini membuatku takjub. Ada banyak alat-alat elektronik yang biasa dugunakan para produser dan composer untuk membuat lagu dan hal ini membuatku bersemangat.
Fajar berbicara dengan salah satu orang yang dipanggilnya dengan sebutan bang. Sedangkan aku sibuk memperhatikannya dari belakang. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku itu sedikit membungkuk saat berbicara dengan Bang yang duduk di kursinya. Masih dibalut hoodie hitam kesukaannya yang mulai lusuh, punggung itu tetap menjadi punggung kesukaanku untuk dipandang.
Fajar masih harus bolak-balik ke pusat rehabilitasi dan ini sudah minggu kesekian ia menjalani terapi. Tubuhnya hampir sepenuhnya pulih dan wajah yang ronanya sudah kembali itu mulai melahirkan mimpi-mimpi baru.
Kalau kemarin-kemarin ia masih lebih suka di rumah dan tidur, kini satu persatu keinginannya mulai muncul. Hal pertama yang dia minta dariku adalah merekam lagu yang dibuatnya secara spontan waktu itu.
Aku mengintip isi ponselnya yang ia tunjukkan pada orang yang dipanggilnya abang tadi. Ternyata ada banyak track-track musik yang ia simpan yang tidak pernah aku ketahui. Fajar yang sadar aku berusaha mengintip dari balik punggungnya melirikku dengan matanya yang melengkung dan ujung bibirnya yang tertarik.
Ia menegakkan tubuh dan mengantongi ponselnya, sedangkan tangannya yang lain mendarat di kepalaku, bermain-main sebentar disana, menciptakan gemuruh yang menyenangkan di dadaku sebelum ia berlalu dan mengajakku masuk ke ruangan yang lain.
Ditempat yang asing ini tak sekalipun ia membiarkanku sendiri. Kadang tangannya suka mengajakku kesana kemari, atau suaranya, atau bahkan senyum dan lirikan matanya. Dan aku sama sekali tidak keberatan diajak mengelilingi dunianya.
Setelah selesai dengan urusan di studio rekaman, ia mengajakku ke toko musik di persimpangan kota. Berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menghindari genangan air di trotoar bekas hujan semalam. Dia bilang dia suka jalan kaki. Dan meski matahari di siang hari ini masih malu-malu menunjukkan wujudnya di musim hujan penghujung tahun, tangan Fajar sudah cukup hangat di genggamanku seperti matahari pagi.
"Bang, ada mixtape kosong gak?"
"Ada, bentar gue ambil."
Aku menarik pelan tangan Fajar yang sedang melihat-lihat rak sekitar. "Mixtape kosong buat apa?"
Ia menoleh. "Buat rekam lagu yang tadi kalo udah jadi,"
"Kan bisa kirim file lewat flashdisk?"
"Biar keren aja ada rekaman mixtape-nya,"
Abang-abang kasir tadi datang membawa case bening tanpa isi dan menyerahkannya di atas meja. "Nih Jar,"
"Makasih ya Bang," setelah membayar, aku dan Fajar keluar dari toko, membuat detingan di atas pintu kembali berbunyi.
"Duduk situ yuk," aku hanya mengikuti kemana tarikan tangannya, membiarkannya membawaku pada kebiasaan-kebiasaan asing dan menebak-nebak isi kepalanya.
Kami mendudukkan diri pada bangku panjang di depan toko musik. Satu tangannya masih di tanganku sedangkan tangan yang lain memperhatikan mixtape kosong yang baru dibelinya sebelum memasukkannya ke dalam kantong jaketnya.
"Tadi di studio kayaknya lo punya banyak track lagu. Boleh liat gak?"
Fajar dengan senang hati mengeluarkan ponselnya dari saku, membuka kunci dan menyerahkan ponselnya yang menunjukkan folder berisi rekaman lagu padaku. "Tapi ini cuma demo sih,"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄
Teen FictionKepergian dua orang yang paling disayang olehnya memberikan kekosongan yang panjang dalam hidup Fajar. Ketika orang-orang yang berhubungan dengan kejadian itu sanggup menjalani kehidupan normal, waktu seolah berhenti berputar hanya untuk Fajar sendi...