Same feelings
Tujuh hari berlalu.
"Aku minta maaf, Mas... "
Rasanya kepala Dharma hendak pecah mengurus masalah Sania. Setiap hari ia bolak-balik kantor polisi untuk memastikan kasus Sania bisa ditutup dan namanya bisa dibersihkan secepat mungkin.
Bahkan Tasya saja belum ia update bagaimana kondisinya. Jujur kasus Sania meledak sekali, setiap hari orang di kantor mulai menatapnya dengan curiga dan penuh bisik-bisik karena seantero TalkTime sudah tahu istrinya tengah terjerat kasus berat.
Dan kemarin ia dipanggil oleh dewan direksi untuk menjelaskan semua rumor yang beredar. Dan Dharma masih berdalih kalau semua yang diberitakan terlalu berlebih-lebihan dan memastikan kalau semuanya tak benar.
Maka dari itu ia susah payah mengumpulkan tim pengacara untuk Sania.
"San, bicara yang jujur. Jangan karena kamu muak dituduh Hulya lalu akhirnya pasrah mengakui begini."
Wanita di depannya menggeleng lemah, masih dengan mata sedu ia berucap, "M-maaf, Mas. Maafin aku..."
Dharma mengusap wajahnya lelah karena Sania terus menjawab dengan kalimat yang sama dari pertanyaan yang sudah ia lontarakan puluhan kali.
Jujur ia kecewa, sangat.
"Kenapa, San? Kenapa?" tanya Dharma, suaranya mulai parau. "Saya bahkan sudah ceraikan Mira sejak tahun lalu. Dalam keadaan sakit, dalam keadaan dia susah. Masih kurang bagi kamu membuat dia menderita sampai berlaku begitu, hm?"
Isak tangis terus Sania coba redam dengan tangannya sendiri.
"Kamu salah orang, San. Salah besar. Kalau kamu mau mendendam, dendam lah sama saya. Makanya sebelum kita menikah lagi, saya tanyakan hal yang sama berulang kali. Apa kamu sudah memaafkan saya? Apa kamu bisa lapang dengan kesalahan saya? Dan ... apa kamu sudah berdamai dengan masa lalu?"
"Aku sudah memaafkan kamu, Mas ... "
"Lalu kenapa .... kenapa kamu setega itu?"
Kepalanya terus menunduk dalam, tak sanggup menjelaskan semuanya.
"Soal Hulya, iya?"
Anggukan kecil dari kepala Sania langsung membuat suaminya menghela napas panjang.
Di ujung isakanya keluar kalimat,"Mas, silakan kamu gugat cerai aku ..."
Sontak Dharma membeku.
"Pergi lah. Kamu nggak perlu repot-repot bawa pengacara handal buat bela aku. Aku ... sudah ikhlas, ikhlas atas hukuman apapun yang bakal ditentukan oleh hakim kalau nanti kasus ini naik ke pengadilan. Aku ikhlas kamu tinggalkan aku lagi, aku ikhlas kamu nggak memberi sepeser pun harta kamu. Mari kita selesaikan saja, semuanya .... secara baik-baik."
"Aku nggak bisa bohong kalau bayangan masa lalu masih sering menghantui aku. Aku pun menerima kamu kembali karena Tasya, itu kan yang pernah jelas aku bilang?"
"Buat sepenuhnya lupa ... aku belum bisa."
"Sebanyak apapun aku mencoba berdamai, luka-luka itu tetap terbuka setiap Hulya menolak kehadiran aku. Itu cukup jadi tanparan aku kalau semuanya belum selesai, Mas."
Air mata Sania kini tumpah tanpa bisa disembunyikan lagi. Hari-hari sebelumnya ia masih tahan bertemu Dharma yang terus memaksanya agar mengikuti skenario yang telah dibuat agar meringankan hukumannya.
Namun hari ini perasaannya terlalu muak mendengar itu. Ia tak butuh apa-apa lagi, ia hanya mau diakui sebagai ibu dari anaknya yang telah dibesarkan oleh tangan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]