Tiga Puluh Sembilan

2.1K 326 529
                                    

Many Things

Hampir sebulan mendekam di sini tak ada hal yang lebih Sania nanti dan harapkan selain kedatangan Hulya maupun Tasya. Soal perkara kasusnya yang terancam hukuman penjara puluhan tahun atau bahkan seumur hidup, ia sudah tak peduli sebab memang itulah konsekuensi yang harus ia terima kini. Yang terpenting Sania bisa menghabiskan masa tuanya dengan berdamai bersama keadaan, ia bisa diterima Hulya, Tasya bisa sehat dan hidup dengan cinta anak-anaknya.

Ditengah lamunannya, langkah seorang sipir perempuan mendekat dan memanggil namanya.

"Bu Sania."

"Iya, saya." Cepat-cepat ia bangkit dan tersenyum merekah. "Ada kunjungan ya? Apa ini anak saya? Yang berhijab atau yang rambutnya panjang?"

"Bukan."

Jawaban itu sontak membuat bahunya turun. Napas panjangnya menandakan kecewa. "Lalu?"

"Kepala lapas menitipkan pesan pada saya untuk memberitahu kejadian yang melibatkan suami dan anak anda. Pagi tadi mereka mengalami kecelakaan di jalan Raya Merta."

Kali ini giliran kakinya yang melemas hingga dengan mudah luruh ke lantai. Dadanya mendadak sesak. Pikirannya melayang jauh kala mendengar anaknya juga terlibat kejadian naas itu. Apa Tasya? Tapi bukannya dua hari lalu Dharma memberitahu kalau Tasya masih harus di rumah sakit dalam beberapa waktu ke depan dan akan ditindak lanjut dalam waktu dekat.

Perasaan terasa makin memburuk ketika menebak nama lain.

"Anak saya juga ... ?" Tenggorokannya tercekat. Kedua maniknya bahkan mulai kabur oleh tumpukan air mata yang tertahan di pelupuk mata.

Sipir itu mengangguk. "Korban diketahui bernama Hulya Nafisya."

Tangisnya langsung tumpah saat nama yang paling ia rindukan tersebut disebut. Perasaannya terbayang beratnya perjuangan hingga menarik penyesalan.

Apa Tuhan sedang menghukumnya? Tapi kenapa harus melalui Hulya, sebab apapun boleh terjadi padanya. Asal jangan menyangkut sosok yang selalu ia damba kasih sayangnya itu. Sakitnya sungguh berlipat.

"Saya mau telpon ... anak saya, Bu. Sebentar saja ... " ucapnya disela-sela menghapus air mata.

Permintaan itu tak ditolak. Kunci sel dibuka dan Sania diantar ke ruangan yang biasa digunakan para tahanan memakai fasilitas telepon untuk berkabar.

Sania menekan nomor Tasya dengan bergetar. Agak lama ia menunggu sebelum akhirnya panggilan diterima dari seberang sana.

"Halo?"

Sania bisa merasakan suara itu terlampau lemah untuk sekadar menyapa. Apa kesehatannya semenurun itu sekarang?

"Mama. Ini mama, Sayang ... "

"Mama?" balasnya agak kaget. "Ya Tuhan, Ini beneran mama, kan? Ma ... hiks... aku kangen mama."

"Mama tau hari-hari aku setelah mama ditangkap? Aku kesepian, Ma. Aku merasa sendirian menghadapi semuanya, beberapa kali aku bahkan pasrah sama kondisi aku, Ma. Aku mohon ... pulang ya? Please ... come back for me, Mama."

Sania membekap mulutnya sendiri karena tak mau isak tangisnya terdengar oleh Tasya. Terbatasnya ruang dan waktu untuk bertemu benar-benar menyiksa batinnya.

"Mama juga rindu kamu, Sya. Tapi ... " Ia menarik napas panjang sejenak. "Maaf, mama belum bisa pulang sekarang."

Hatinya makin teriris ketika mendengar Tasya menangis keras di sana. Rasanya benar-benar gagal menjadi ibu. Karena seharusnya ia ada di samping kedua anaknya yang sedang sakit. Mengasihi dan menemani sebagaimana mestinya. Kalimat sayang yang sering ia ucapkan terus terasa hambar karena sadar dirinya mulai saat ini tak akan selalu ada untuk anak-anaknya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang