Misspoke
Selepas shalat maghrib Hulya mulai membereskan rumahnya yang sudah ia tinggal dua hari. Dan ya ampun, padahal tak ada serangan meteor atau gempa, tapi kenapa keadaannya terlihat seperti kapal pecah?
Jika masih ada ibunya, ia pasti sudah diberi petuah sepanjang malam. Sembari menunggu mesin cuci yang sedang berputar, ia membuka ponselnya yang penuh dengan notifikasi. Panggilan dan pesan telepon dari Nayla paling banyak, pasti anak itu ribut mencarinya yang tak hadir pada kuis kemarin.
Nayla berpesan akan mampir ke rumahnya pukul setengah delapan nanti. Dan Hulya sudah menyiapkan alasan singkat jika diinterogasi oleh kawannya itu, daripada ia panjang lebar mengatakan kalau tangan kirinya retak dan dirawat karena darah rendah juga, yang ada nanti Nayla bisa heboh sendiri. Masalahnya anak itu cukup berisik dan akan kepo setengah mati kalau ia jelaskan kondisi sebenarnya. Satu sisi ia senang karena secara tersirat tandanya masih ada yang peduli dengannya. Namjn saja Hulya pun sadar kalau yang selalu ada dan peduli itu tak ada selain dirinya sendiri dan Tuhannya.
Kembali ke awal, ternyata lelah juga mengurus rumah. Padahal terlihatnya mudah saja seperti menyapu dan mempel lantai, tapi setelah dikerjakan berhasil juga membuatnya pegal.
Mungkin ini salah satu alasan kenapa peran ibu rumah tangga itu tidak bisa di-compare dengan wanita yang memiliki pekerjaan alias wanita karier, pasalnya mereka kerap dipandang pengangguran karena banyak menghabiskan waktu di rumah. Dan mirisnya stigma itu datang dari sesama perempuan juga. Padahal, mereka pun-para ibu rumah tangga-banyak mengambil peran untuk sehari-harinya ketika di rumah. Ia bisa menjadi seorang juru masak, seorang perawat, seorang guru, seorang penasihat, seorang pekerja manual dan tentunya mereka seseorang yang tak menerima gaji.
Suara ketukan pintu membuat lamunannya buyar. Hulya menarik kerudung hitamnya yang tersampir di kursi meja makan lalu melesat membukakan pintu. Nayla pasti sudah menunggu karena ketukannya makin nyaring saja.
"Iya! Kamu nggak sabaran banget s-" ucapannya menggantung saat ia menarik pintu dan mendapati Andra tengah tersenyum padanya.
"Hai!" sapanya. "Iya, aku nggak sabar ketemu karena tadi siang aku samperin kamu ke rumah sakit, tapi katanya udah pulang. Gimana? Udah merasa enakan?"
Tanpa berniat menjawab atau basa-basi, Hulya kembali menarik pintu agar tertutup. Namun Andra dengan mudahnya menjauhkan tangannya dan membuat pintu itu terbuka lebar.
"Kamu nggak menghargai banget ada tamu datang. Aku jauh-jauh dari Gading ke sini buat pastiin kondisi kamu."
"Pergi!" kata Hulya dengan tegas. "Kamu gila atau gimana sih? Berulang kali udah dikasih peringatan, tapi masih aja bebal. Mau aku laporin polisi beneran?"
Ya Allah, malam-malam begini ada saja yang membuat emosinya naik.
Tanpa menggubris ancaman tersebut, tiba-tiba Andra menarik tangan kirinya dan mengusapnya lembut. "Ini masih sakit, hm?" tanyanya.
Dengan cepat Hulya menarik tangannya dan melotot kesal pada tindakan Andra tadi. "Kamu bisa nggak sih nggak main pegang perempuan sembarangan? Rendah banget ya etika kamu?"
Ucapan sarkasnya dibalas tawa kecil oleh Andra. Benar, kan? Ia sepertinya adalah ODGJ yang kabur dari masa perawatan. Dan Hulya lebih takut pada orang gila daripada setan.
"Pergi!" teriaknya lagi.
"Kamu merasa suci?" tanyanya, membuat Hulya tak mengerti. "Kamu pikir aku nggak tau kamu sering jalan sama siapa tuh, dokter yang kerja di Fatmawati ya? Yang tadi siang juga anterin kamu pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]