Delapan

2.5K 372 119
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.”  Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.

Q.S Al-Jasiyah : 24

Pernahkah kita merasa waktu berjalan cepat atau justru sebaliknya? Padahal porsi waktu itu tetap sama saja, 24 jam dalam sehari.

Ya, rasanya baru lima menit Hulya memejamkan mata, tapi saat ia membuka mata jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.  Kalau saja ia belum pernah membaca sebuah artikel yang berkaitan dengan kondisi sekarang, mungkin Hulya sudah menghela napas panjang karena merasa jam tidurnya kurang sambil berucap m, 'Cepet banget, udah jam segini aja.'

Selama ini kebanyakan orang hanya tahu bahwa manusia memiliki lima indra saja yang diantaranya, indra penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan penciuman. Namun sebenarnya indra itu lebih banyak lagi, termasuk indra perasa waktu yang tertanam di dalam otak manusia.

Saat tidur indra-indra pun akan ikut dimatikan sementara. Itulah mengapa terkadang ketika kita disentuh tak merasakannya, walaupun mungkin karena sistem keselamatan dalam tubuh kita. Beberapa indra memiliki tingkan sensitivitas masing-masing. Sehingga sentuhan yang melebihi batas sensitif tersebut akan membangunkan kita.

Ketika tidur, indra perasa waktu pun akan mati sehingga tak dapat merasakan waktu yang terus berjalan meski berjam-jam telah terlewati.

Itulah alasannya, berbeda jika manusia terjaga dan bermeditasi, berkonsentrasi penuh terhadap pergerakan nafas, maka waktu 5 menit saja terasa sudah lama sekali.

Baik, Hulya akan merencanakan tambahan waktu tidur nanti. Sekarang ia sudah bersiap pulang sebelum meluncur ke kampus pukul sembilan nanti. Sejujurnya ia khawatir juga meninggalkan Sania sendirian. Meski wajahnya sudah tak sepucat kemarin, namun suaranya masih parau karena tubuhnya yang masih lemas.

Dharma pamit lebih dulu sejak pukul lima pagi untuk bekerja sekaligus keluar kota hari ini. Kemungkinan akan kembali besok sore. Intensitas kesibukan ayahnya semakin padat saja semenjak empat tahun lalu dan Hulya mau tak mau harus siap pada berkurangnya quality time dengan ayahnya.

Biasanya tiap akhir pekan ia akan duduk di ruang tamu dan menanyakan bagaimana progress Tasya dan Hulya dalam masa studinya. Meski bosan karena yang dibicarakan seputar nilai, rencana setelah lulus, potensi dan lainnya, setidaknya Hulya bersyukur karena dengan begitu Dharma masih memiliki rasa peduli pada anak-anaknya.

Tak jarang Hulya kagum pada semangat Tasya yang jauh diatasnya apabila sedang meladeni ayahnya. Berbeda dengan Hulya yang belum memiliki gambaran setelah lulus, maka ia jawab saja tidak tahu. Daripada mengarang bebas penuh ekspetasi tinggi, takutnya nanti ia terjebak sendiri. Apalagi ayahnya itu tipikal orang yang jika sudah bilang A maka harus A.

"Aku pamit dulu ya? Nanti kalau ada apa-apa mama bisa telepon aku," ucap Hulya setelah selesai menyuapi Sania makan.

Kepala Sania mengangguk. "Makasih ya. Mama jadi ngerepotin kamu. Kalau nanti–"

Sania berhenti berbicara karena pintu ruang rawat dibuka secara tergesa oleh seseorang yang mengenakan dress selutut berwarna putih tulang.

Orang yang Hulya pertanyakan kehadirannya sejak kemarin akhirnya muncul juga. Tasya.

Wajahnya berkerut khawatir sambil menggengam tangan Sania. "Mama ...  maaf. Maafin aku ya baru datang sekarang. Mama baik-baik aja, kan?"

"Baik, Sya. Tapi kamu kemana aja? Ayah juga khawatir karena tiap ditelepon kamu nggak aktif."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang