Promise today
Dua hari setelah malam tersebut, Andra benar-benar tak menampakkan batang hidungnya lagi di rumah Hulya. Satu sisi ia bersyukur hidupnya agak tenang, namun tak bisa dipungkiri kalau ia cemas jika kejadian malam itu sampai ke telinga ayahnya.
Meski ia jelaskan dengan jujur, ayahnya pasti akan menyemprotnya habis-habisan. Tapi entahlah, dua hari ini ia belum dilabrak. Apa Andra tak mengadu ya? Tapi rasanya itu lebih tak mungkin.
Selain itu, ada lagi buntut dari kejadian malam tersebut yang membuatnya jengkel. Apalagi kalau bukan Aci dan Nayla tak henti-hentinya kepo perihal keberadaan Arka. Sudah ia bilang kalau semua itu tak lebih dari sekedar urusan yang tak penting, tapi mereka masih saja punya dugaan tersendiri dan terus mengoreknya agar Hulya jujur.
"Ah masa iya urusan nggak penting sampe nyamperin ke rumah? Ya nggak, Ci?" Nayla menoleh, meminta persetujuan agar Hulya cepat mengaku. "Soalnya nih, Ya. Pas kita selesai diskusi artikel, Ka Rendy tuh nanyain lo. Pas gue bilang sakit, dia langsung banyak banyak nanya gitu. Khawatir, sampe akhirnya pengen ikut jenguk. Eh taunya udah kesalip duluan ama abangnya sendiri hahaha ... "
"Asli ini mah, di luar prediksi BMKG banget!"
Tawa keduanya saling bersahutan, gembira melihat wajah masam Hulya karena diledek habis-habisan.
Memang malam itu cukup canggung, Arka yang ditanya oleh adiknya hanya menjawab kalau ia cuma mampir dan langsung pamit.
"Nay, udah deh. Aku lagi nyari bahan buat artikel besok nih. Mending bantuin daripada kalian ngoceh nggak jelas," kata Hulya yang sedari tadi hanya fokus dengan laptopnya.
"Santai aja sih. Minggu depan ini di kumpulinnya kan?"
"Jangan sepelein tugas. Bentar lagi UAS," sambar Aci yang memang paling rajin daripada kedua temannya. Hulya saja kadang iri karena bisa-bisanya semua nilai Aci itu konsisten dari awal masuk, bahkan setaunya nilai paling kecil Aci itu B.
"Btw, lo jadi ambil semester pendek?" tanya Nayla pada Aci. "Makin padet aja dong jadwal lo ntar?"
Aci mengangguk. "Yaudah lah abis mau gimana. Hulya juga jadi tuh mau ngambil SP."
Mata Nayla kontan membesar. "Ih kok lo nggak bilang-bilang ke gue sih?" demonya pada Hulya. "Lo kenapa pengen buru-buru lulus? Mau nikah ya?!" tudingnya sembarangan.
"Enggak lah, enak aja!" Sebenarnya ia sudah memikirkan ini sejak semester tiga, namun masih abu-abu. Tapi ayahnya sudah bilang kalau tak akan membiayai dirinya lagi, kan? Dan kini keputusannya makin matang untuk menyelesaikan kuliahnya buru-buru.
Ia tak bisa bergantung pada siapapun, bahkan bayangan dirinya saja akan meninggalkannya di saat gelap. Jadi ia sudah tak memikirkan ayahnya mau berubah pikiran atau tidak. Yang jelas ia harus mulai belajar berdiri di atas kaki sendiri.
"Terus apa?"
"Kuliah makin lama makin mahal, Nay."
Nayla terkekeh. "Nggak, nggak bakal percaya gue kalo alasannya itu." Selama ini Hulya memang jarang-bahkan tak pernah bercerita seperti apa latar belakang keluarganya. Yang Aci dan Nayla tahu hanya sedikit; Hulya punya ibu dan kakak tiri, dan ayahnya kerja di perusahaan media. Itu pun ia ketahui secara tak sengaja saat mereka berkunjung ke rumah Hulya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]