Tujuh Belas

2.3K 391 176
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Kehidupan itu cuma dua hari. Satu hari berpihak kepadamu dan satu hari melawanmu. Maka pada saat ia berpihak kepadamu, jangan bangga dan gegabah; dan pada saat ia melawanmu bersabarlah. Karena keduanya adalah ujian bagimu.

Ali bin Abi Thalib


"Keterlaluan! Kamu sengaja ya ngomong begitu supaya ayah nggak punya muka di depan keluarga mereka? Seneng kamu udah bikin orangtua malu?"

Untung sekarang yang menyetir adalah Tasya, bukan ayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana orang yang lagi emosi menyetir? Ya, takutnya rem dan gas pun ikut-ikut tak terkendali nantinya.

"Yah, please. Fokus aku sekarang ini bukan soal laki-laki, nikah atau apapun itu. Masih banyak hal yang belum aku selesaikan. Lagian ini baru pertama kali aku ketemu."

"Kalian punya waktu, Hulya. Tasya aja bisa percaya sama Arka walaupun belum lama ketemu?''

Kali ini Hulya terdiam agak lama. Baginya first impression Arka dan anak direksi tadi jelas beda. Sulit menemukan kalimat yang pas untuk membandingkan keduanya, namun yang jelas Arka terkesan lebih 'aman' di mata Hulya. Bukan berarti ia berpihak pada Arka, tapi ya itulah adanya. Selebihnya tak ada yang spesial.

Dan kalau soal Tasya yang bisa langsung merima Arka, Hulya rasa Tasya mengalami fall in love at first sight. Jadi jelas beda dengan case Revandra tadi. Dari awal saja Hulya sudah mual melihat senyumnya yang seperti menyimpan maksud terselubung.

"Kamu mikir nggak? Dengan ngomong begitu posisi ayah di kantor bisa nggak aman nantinya?"

Hulya menghela napas melihat ayahnya yang sekarang secara terang-terangan mengakui ada maksud lain dibalik niatnya menerima anak direksinya itu.

"Yah, rezeki manusia itu ada di tangan Allah, manusia cuma perantara aja. Ngapain harus takut tertukar atau nggak dapet?"

"Paham, tapi lo tuh gampang banget kalo ngomong. Kalo emang bisa, cari duit sendiri sana. Lo pikir uang yang lo makan itu hasil ayah kerja di mana?" Tasya menimpali sambil menatap adiknya melalui spion yang tergantung di depan kemudi.

"Cari kerja susah, jadi staf biasa di Jakarta aja harus ada gelar zaman sekarang. Apalagi buat ngerangkap naik jabatan. It took a lot of great effort to be where he is now."

"Lo itu terlalu arogan, pantes lah ayah merasa malu. Padahal ayah cuma minta apa sih? Kenal doang. Tapi lo udah kayak orang kebakaran jenggot aja. Kalau lo jual mahal nggak gitu caranya, Ya," sambar Tasya habis-habisan.

Jual mahal? Ya ampun, sepertinya pahala istigfar akan menumpuk karena Hulya terus mengulang kalimat tersebut.

Ini bukan soal jual mahal, tapi kepastian. Hulya yakin kalau tadi ia berlagak menerima Revandra, besok-besok ayahnya pasti makin gencar melancarkan aksinya. Daripada harus terjebak nantinya, lebih baik menolak dari awal, kan?

"It's none of your business. Jadi tolong jangan menggiring opini yang ujung-ujungnya cuma bikin masalah ini makin runyam," balas Hulya tak kalah ketus. Ok, ini memang bukan gayanya sekali; beradu mulut dengan orang yang tak menyukainya. Tapi Tasya harus tau kalau Hulya juga tak bisa selalu dipojokkan.

Apalagi ini hak pribadinya untuk menolak atau menerima siapa pun yang ingin masuk ke kehidupannya. Menikah itu bukan perihal sah saja, tapi lebih luas daripada itu.

"Sya, kamu diem dulu deh," tegur Sania. "Dan kamu, Mas. Cukup lah, jangan paksa Hulya terus-terusan. Bisa nggak kita jangan ribut terus kalau kumpul?"

"Dan mama bisa nggak sih jangan belain Hulya terus?" cecar Tasya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang