Empat Puluh Dua

2.2K 342 311
                                    

Lost

Cukup lama Sania dan Hulya berdiam diri di depan gundukan tanah yang ditaburi bunga segar itu. Walau acara pemakaman telah selesai sejak tadi. Keduanya masih duduk dengan tangan saling bertaut untuk menguatkan.

Perlahan makin banyak orang yang memutuskan segera pulang karena hari semakin sore dan langit perlahan berubah warna.

Sedangkan di belakang beberapa teman Tasya masih berkumpul, bergantian maju ke depan pusara untuk sekedar mendoakan atau mengutarakan sepotong kebersamaan mereka selama berteman.

Kesan yang paling banyak Sania dan Hulya dapati dari orang yang mengenalnya adalah sosoknya yang cerdas dan gemar bersosialisasi dengan siapapun. Ia pergi dalam kenangan yang baik, dengan tenang dan mengharukan.

Tak jauh di belakang sana, Arka masih berdiri bersama ibunya yang turut datang hari ini.

"Kasihan. Hancur sekali keluarga mereka," Ishma berucap dengan pandangan lurus ke depan. Menyaksikan dua perempuan yang sedang berduka di sana. "Ibunya dalam proses hukum, ayahnya juga terjerat kasus korupsi proyek iklan dan masih koma ... dan sekarang anak mereka pergi."

"Ibu nggak tahu dosa apa yang mereka perbuat sampai Tuhan memberikan sakit yang berlipat begini. Kalau ibu jadi Hulya, mungkin sekarang sudah stress luar biasa."

Arka tersenyum getir mendengar kalimat terakhirnya. Dari awal pun Arka tau jika menjadi Hulya tak mudah, sekalipun sekarang keluarganya tak ada di titik ini.

"Kamu membantu dia bukan karena ada perasaan lebih kan, Ka?" tanya Ishma yang kini menoleh pada anaknya. Dari tatapannya Arka tahu kalau ibunya tengah serius meski nada yang ia gunakan setenang air.

"Dulu ibu cuma tau kalau Sania sebatas menikah dengan pria lain dan jadi ibu tiri Hulya aja. Nyatanya persoalan keluarga mereka lebih kompleks. Jujur setelah tau, ibu berpikir ulang karena sudah menjadikan kamu dan Tasya dalam hubungan yang cukup serius. Kalau bisa jangan sampai, Ka ... " Sejenak Ishma menggantung ucapannya untuk menghela napas panjang. "Menikahi perempuan yang banyak lukanya itu nggak mudah."

Sesaat Arka terdiam. Tentu itu bukan angin belaka, ada pesan tersirat untuknya dari ucapan ibunya barusan.

Sesudah berucap demikian Ishma langsung beranjak ke depan, meninggalkan Arka dan seluruh pikirannya yang sedang berkutat.

Ia menemui Sania dan memeluknya agak lama. "Aku tau ini berat sekali, San. Tapi gimana pun, kamu harus tabah dan ikhlas ya?"

Pelukan itu terurai. Sania menghapus air matanya dan mengangguk pelan. "Makasih kamu sudah datang. Tolong maafkan segala bentuk kesalahan Tasya."

"Aku merasa Tasya nggak berbuat salah apapun. Dia anak yang baik."

"Aku ... aku titip Hulya ya?" katanya dengan pelan. Ishma hanya mentapnya dengan tenang tanpa berniat menyela sedikit pun. "Dia pasti bakal kesepian ... apalagi kondisinya lagi begini. Tolong ya?"

Kepala Ishma hanya mengangguk sebelum kembali mendekap Sania. Keputus asaan begitu menguar dari matanya yang sembab. Dari balik punggung Sania, ia lihat Arka dari tempatnya tak melepas tatapan pada Hulya yang sedang berbicara dengan teman-teman Tasya.

Sebagai seorang ibu, ia bisa membaca semuanya. Sama sekali Ishma tak membenci Hulya, tapi apa harus pada Hulya? Entah apa yang menarik dari gadis yang bahkan belum lulus sarjana itu. Jika sekadar baik dan cantik, kedua hal itu ia yakini banyak Arka temui sejak dulu. Dan seharusnya ia punya banyak pilihan lain.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang