Lima Puluh Tiga

2.5K 296 360
                                    

Our blessed day

Menilik pada apa yang terjadi di masyarakat, banyak sekali masalah yang muncul sebab standar manusianya yang heterogen. Salah satunya perihal menikah.

Sejak memantapkan diri menikah, ada bucket list yang Hulya pegang dalam angan, yaitu kesederhanaan. Kesederhanaan dalam proses menuju akad, dalam konsep acara, maupun pada hari H. Hal ini Hulya lakukan karena adanya standar lain yang jauh memuaskan dibanding standar pribadi seorang insan. Yaitu standar yang membumi dengan segala keindahan di dalamnya. Ia datang dari Allah, Sang Pemberi Arah, Sang Pemberi kemudahan penuh keberkahan.

Dalam hukum islam yang Hulya pahami, syarat menikah itu sebenarnya jelas dan compact. Syarat sahnya pun cenderung memudahkan. Adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi dan terakhir ijab kabul. Tidak ada standar minimal harta, gelar kedua calon pengantin, ataupun gedung megah sebagai tempat dilangsungkannya acara.

Seluruh arahan-Nya terkemas secara sederhana, seakan-akan berwujud rangkulan bagi siapa saja yang hendak melanjutkan ibadah terpanjang yang terukur sampai akhir hayatnya.

Sebab itu Hulya bersyukur atas terwujudnya bucket list ini. Allah menurunkan wasilah yang luar biasa besar melalui orang-orang terdekat yang turut membersamai hingga hari ini.

Dikelilingi oleh orang-orang baik merupakan suatu nikmat yang besar. Porsi penat menyiapkan segala hal jatuh pada Nayla dan mamanya yang selalu excited kesana kemari. Mulai dari  koordinasi sistem infaq dengan sekretariat masjid tempat dimana acara pernikahan akan dilangsungkan, mencari butik serta WO, dan sisa-sisa lainnya.

Airin juga sudah datang empat kali dalam minggu terakhir ini. Sebagai perpanjangan tangan kakaknya, ia selalu update akan banyak hal. Sedangkan Ishma hanya datang pada saat h-2, Hulya memaklumi saja mengingat bisa saja ada urusan lain yang lebih penting. Airin juga menyampaikan bahwa ibunya sibuk bersilahturahmi sekaligus mengundang ke kerabat dekat.

Dan hari ini telah tiba.

Veil panjang itu tampak menjuntai dengan anggun, melengkapi gamis putih gading dengan lace dan floral pattern yang membuat gadis itu tampak berseri sekaligus menawan.

Duduk di kelilingi teman-temannya dengan riasan wajah flawless serta sebuket bunga yang dipegang menjadikannya subjek paling mencolok sekarang.

"Ngeliat Hulya nikah aku juga jadi ingin, Ma. Mau nikah juga dong. Boleh nggak?" ucap Nayla ke wanita paruh baya di sampingnya.

Niken mendengus geli. "Kamu kalau lagi batuk pilek aja masih mama loh yang suka usapin ingusnya!"

"Huuu anak mamih !" Salwa tergelak puas. "Lo abis ini jangan buntutin Hulya terus loh, Nay. Dia udah punya laki, yang ada nanti malah lo sendiri yang mimisan kalau liat pengantin baru."

"Terus lo juga nggak bisa seenaknya nginep di rumah Hulya lagi." Tambah Aci yang mendadak bersekutu dengan Salwa untuk menyarang Nayla.

"Kok malah lo pada yang repot sih?" ketusnya sambil merapikan rambut. "Boleh aja kan, Ya? Tidurnya bertiga juga nggak apa-apa deh, gue bisa di tengah."

Niken yang sekilas mendengar itu langsung memicing tajam.

"Mereka duluan, Ma!" Rengeknya saat mendapati mamanya sudah hampir mengamuk lagi.

Mereka tak lagi saling melempar candaan sebab akad akan segera ijabkan. Dari lantai dua Hulya bisa melihat jelas pria yang mengenakan pakaian berwarna senada dengannya terlihat santai berbincang dan tertawa dengan kedua saksi.

Berbanding terbalik dengan Hulya yang menautkan jari-jarinya guna menggugurkan rasa gugup yang mendera.

Menikah itu Mitsaqan Ghalidzha, dimana akadnya bukan hanya soal suka atau cinta. Tetapi juga akad untuk saling menguatkan keimanan, akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan agar saling melindungi, akad untuk saling menutupi aib, akad untuk saling mencurahkan perasaan, akad untuk berlomba menunaikan kewajiban, akad untuk membangun rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang